Pilkada Serentak
3 Provinsi Terdeteksi Miliki Kerawanan Tinggi Saat Pilkada Serentak 2018
"Dengan demikian tidak ada satu pun provinsi yang memiliki skor rendah dalam hal kerawanan,"
Laporan Wartawan Tribunnews.com, M Zulfikar
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merilis Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Pemilihan Kepala Daerah 2018.
Sebanyak tiga Provinsi ditetapkan memiliki kerawanan tinggi.
Anggota Bawaslu, M Afifuddin, mengatakan, tiga provinsi yang dikategorikan tinggi nilai kerawanannya ialah Papua, Kalimantan Barat dan Maluku.
Baca: Mendagri Ungkap Ada Orang Punya E-KTP dari Sabang Sampai Merauke
Sedangkan, 14 provinsi lain yang bakal menggelar pemilihan gubernur pada 2018, mempunyai kerawanan sedang.
"Dengan demikian tidak ada satu pun provinsi yang memiliki skor rendah dalam hal kerawanan," kata Afifuddin di Hotel Grand Sahid, Jakarta, Selasa (28/11/2017).
Baca: Uji Materi Ditolak MK, Anggota Legislatif yang Menjadi Calon Kepala Daerah Harus Mengundurkan Diri
Afif menjelaskan, adapun, sebuah provinsi dikategorikan tinggi kerawanannya jika nilainya antara 3,00 hingga 5,00. Provinsi yang mendapat nilai antara 2,00 dan 2,99, masuk kategori sedang. Sementara rendah, jika skornya 0-1,99.
"Provinsi Papua berdasarkan skor memiliki indeks 3,41. Skor indeks untuk Provinsi Maluku ialah 3,25; Sementara skor indeks Kalimantan Barat 3,04. Skor ini mencakup tiga dimensi yaitu penyelenggaraan, kontestasi, dan partisipasi," tuturnya.
Baca: KPK Periksa Lima Pihak Swasta dan Seorang Dokter Telisik Gratifikasi Bupati Rita
Masih kata Afif, kerawanan tinggi pada Pemilihan Gubernur Papua ditentukan oleh dimensi partisipasi.
Hal itu disebabkan, partisipasi pemantau pemilu dan perlindungan terhadap hak pilih yang minim.
Sedangkan, kerawanan tinggi Pilgub Maluku ditentukan dimensi penyelenggaraan, terutama berkaitan dengan integritas dan profesionalitas penyelenggara.
"Adapun, penyebab kerawanan tinggi pada Pilgub Kalimantan Barat ada pada dimensi kontestasi, di antaranya disebabkan oleh maraknya politik identitas, penggunaan isu SARA, dan politisasi birokrasi," katanya.