Jumat, 3 Oktober 2025

Novanto Jadi Tersangka Lagi, Ini yang Jadi Kekhawatiran Akbar Tandjung

Dirinya menyebutkan, opini publik terus menunjukkan tren yang menurun akibat kasus yang membelit sang ketua umum.

Penulis: Wahyu Aji
KOMPAS IMAGES
Akbar Tandjung 

Laporan Wartawan Tribunnews.com, Wahyu Aji

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Wakil Ketua Dewan Kehormatan Partai Golkar, Akbar Tandjung mengaku khawatir dengan status tersangka Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto, dalam kasus korupsi KTP elektronik, berdampak pada partai.

Menurutnya, status tersangka yang disandang oleh Novanto menjadikan opini publik terhadap partainya menurun.

Baca: Kelompok Bersenjata yang Sandera Warga di Mimika Tolak Komunikasi dengan Polisi

"Kita anggap terbaik untuk Golkar, termasuk perubahan dalam kepemimpinan. Karena pemimpin ini juga yang akan menentukan daripada keberhasilan partai, dan pemimpin itu pun juga akan bisa mempengaruhi bagaimana opini publik terhadap partai," kata Akbar Tandjung kepada wartawan di Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (14/11/2017).

"Kalau pemimpinnya di mata publik katakanlah tidak akseptabel, bisa mengakibatkan tren publik juga memberikan penilaian terhadap Golkar juga mengalami penurunan," tambahnya.

Akbar juga prihatin terhadap penurunan opini publik yang kini terjadi di partai berlambang pohon beringin ini.

Dirinya menyebutkan, opini publik terus menunjukkan tren yang menurun akibat kasus yang membelit sang ketua umum.

"Kenapa? dengan adanya kasus yang dialami oleh saudara Setya Novanto, memperlihatkan opini publik terhadap Golkar itu mengalami tren penurunan," katanya.

Akbar menjelaskan, sejak reformasi, opini publik ke Partai Golkar memang terus-terusan menurun.

"Kalau tren penurunan itu terus 6 persen, 5 persen, bahkan kemudian bisa di bawah 4 persen. Kalau dia di bawah 4 persen, boleh dikatakan, ya dalam bahasa saya, bisa terjadi kiamat di partai Golkar ini," katanya.

Dikatakan Akbar, Golkar selama di era Orde baru selalu elektabilitasnya di atas 60 persen. Bahkan, pada Pemilu tahun 1997 Partai Golkar di atas 70 persen.

"Bayangkan kalau sampai di bawah 4 persen berarti tidak punya hak untuk mempunyai anggota di DPR. Wah ini yang saya takutkan," katanya.

Diberitakan sebelumnya, beberapa hari lalu beredar Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) dimana Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali mentersangkakan Setya Novanto (SN) di kasus korupsi e-KTP.

Pada hari Jumat (10/11/2017) sore, KPK melalui Wakil Ketua, Saut Situmorang mengumumkan secara resmi, Setya Novanto menjadi tersangka e-KTP.

Ini adalah kali kedua Ketua DPR RI itu menyandang status tersangka di korupsi e-KTP. Sebelumnya Setya Novanto juga telah tersangka namun status hukumnya gugur lantaran menang dalam gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Saya disini membacakan putusan kolektif kolegial, KPK telah mempelajari secara seksama putusan praperadilan yang telah diputus pada 29 September 2017 serta aturan hukum lain. Lanjut pada 5 Oktober 2017, KPK melakukan penyelidikan baru untuk pengembangan perkara e-KTP dalam proses penyelidikan ini KPK telah meminta keterangan sejumlah pihak dengan mengumpulkan bukti yang relevan," ujar Saut Situmorang.

Dalam proses tersebut, lanjut Saut Situmorang, telah disampaikan permintaan keterangan pada Setya Novanto sebanyak dua kali yakni pada 13 dan 18 Oktober 2017. Namun yang bersangkutan tidak hadir untuk dimintai keterangan karena pelaksanaan tugas kedinasan.

"Setelah proses penyelidikan dan ada bukti permulaan yang cukup, kemudian pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, penyidik, penyelidik dan penuntut melakukan gelar perkara pada 28 Oktober 2017 dan kembali menerbitkan sprindik pada 31 Oktober 2017 untuk tersangka SN," kata Saut Situmorang.

Setya Novanto selaku anggota DPR RI periode 200c-2014 bersama dengan Anang, Andi, Irman dan Sugiharto diduga dengan tujuan menguntungkan diri sindiri dan orang lain atau korporasi, menyalahgunakan kewenangan atau sarana yang ada padanya sehingga diduga mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun rupiah dari nilai paket pengadaan Rp 5,9 triliun dalam pengadaan paket e-KTP tahun 2011-2012 di Kemendagri.

Oleh penyidik, Setya Novanto disangkakan melanggar Pasal 2 ayat 1 subsider pasal 3 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke 1.

Sebagai pemenuhan hak tersangka, diungkapkan Saut Situmorang, KPK telah mengantarkan surat SPDP pada Setya Novanto pada 3 November 2017 di kediaman Setya Novanto, Jl Wijaya, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved