Korupsi KTP Elektronik
Pengacara Novanto Minta KPK Tunduk Hukum, Pemeriksaan Harus Izin Presiden
Putusan MK itu terkait UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA – Fredrich Yunadi salah seorang anggota tim kuasa hukum Setya Novanto menegaskan bahwa pemeriksaaan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) Setya Novanto, harus setelah mendapatkan izin Presiden Joko Widodo.
Hal ini terkait tidak hadirnya Novanto dalam pemanggilan kedua dari penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diperiksa saksi korupsi e-KTP untuk tersangka Anang Sugiana Sudihardjo (ASS) Direktur Quadra Solution.
Anang adalah tersangka mega skandal korupsi pengadaan e-KTP.
Sebelumnya pada panggilan pertama, Senin (30/10/2017) lalu, Setya Novanto (SN) tidak bisa hadir dengan alasan ada kegiatan lain.
Pada penyidik KPK, Setya Novanto mengirim surat tidak bisa memenuhi pemeriksaan karena ada kegiatan kunjungan ke konstituen di daerah pemilihan selama masa reses.
Baca: Polisi Beberkan Kronologis Pemukulan Guru Terhadap Murid di Pangkalpinang
"Ini kan UU (Meminta izin Presiden), di mana sesuai dengan putusan MK 76/PUU-XII tahun 2014 kan telah menyatakan Pasal 245 itu konstitusional dan mewajibkan pemanggilan terhadap ketua dewan maupun anggota dewan harus izin dari Presiden," kata Friedrich saat dikonfirmasi wartawan di Jakarta, Senin (6/11/2017).
Putusan MK itu terkait UU nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3).
Sebelumnya, dalam Pasal 245 ayat 1 UU MD3, pemeriksaan terhadap anggota dewan seizin MKD, tetapi MK mengubahnya menjadi seizin presiden.
Berikut bunyinya:
Pemanggilan dan permintaan keterangan untuk penyidikan terhadap anggota DPR yang diduga melakukan tindak pidana harus mendapat persetujuan tertulis dari Presiden.
Namun Pasal 245 ayat 3 belum diubah oleh MK. Pasal tersebut berbunyi:
Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak berlaku apabila anggota DPR
a. tertangkap tangan melakukan tindak pidana;
b. disangka melakukan tindak pidana kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau tindak pidana kejahatan terhadap kemanusiaan dan keamanan negara berdasarkan bukti permulaan yang cukup; atau
c. disangka melakukan tindak pidana khusus.
Menurut pengacara Novanto, Fredrich Yunadi, Pasal 245 ayat 3 otomatis mengikuti Pasal 245 ayat 1.
Friedrich mengatakan, Presiden akan menentukan sikap mengizinkan atau tidak dalam waktu 30 hari ke depan pasca surat izin pemeriksaan dilayangkan.
Lebih lanjut dirinya meminta KPK supaya tunduk mematuhi Undang-Undang (UU).
"Jadi sebaikanya KPK tunduklah, taatlah pada hukum. Kalau mengaku dirinya sebagai penegak hukum, dia wajib lebih menaati hukum dari pada rakyat. Karena ini konstitusi jangan di lawan. Kalau mau lawan deklarsi mau kudeta silahkan," katanya.