Jumat, 3 Oktober 2025

Begini Kisah Para Tahanan Politik Orde Lama di Penjara Madiun Saat Terjadi G30S/PKI

Hari Jumat, tanggal 1 Oktober 1965, kira-kira jam 1 siang para tahanan sedang istirahat di kamar masing-masing.

Intisari
Mengenang G30S: Mengurai Fakta dari Bangsal Forensik (1) 

Walaupun kami mengetahui bahwa pada waktu yang akhir-akhir ini kota Madiun sudah berangsur-angsur juga menjadi daerah minum bagi PKI, terbukti dari kekalahan calon-calon PKI dalam pemilihan untuk jabatan Lurah, yang telah berkali-kali dilangsungkan, tetapi hal itu tidaklah boleh dijadikan ukuran untuk memandang kecil kekuatan lawan.

Memang, tatkala terjadi pemberontakan PKI/Muso pada tahun 1948, salah satu kekuatan mereka di kota Madiun pada waktu itu ialah lantaran pimpinan kesatuan tentara setempat berada di tangan perwira-perwira yang berhaluan komunis.

Sekarang, 17 tahun kemudian, pimpinan dan kesatuan tentara di Madiun boleh dikatakan anti-komunis, sehingga keadaan itu merupakan faktor yang dapat memberikan sedikit kelegaan.

Walaupun begitu, para tahanan politik sudah siap-siap juga dengan bungkusan-bungkusan kecil berisi pakaian yang diperlukan.

Sebab, kalau keadaan memaksa, tentulah akan lebih safe apabila kami menyingkir dari tempat tersebut, walaupun dekat-dekat di dalam kota.

Masih terngiang-ngiang di telinga kami cerita-cerita yang mengatakan, bahwa ketika pemberontakan PKI tahun 1948 itu, penjara di Jl. Wilis itu mereka jadikan sebagai tempat tahanan-tahanan mereka, yang akhirnya mereka “bereskan”.

“Coba kita setel stasiun radio Jakarta kembali,” demikian ujar Subadio, setelah habis sembahyang magrib. “Biasanya jam 7 ada siaran warta berita.”

Mulai dari jam 7 itu sampai setengah jam kemudian, radio Jakarta ternyata tidak ada di udara. Kami saling bertanya-tanya apa sebabnya? Mungkin keadaan di Jakarta semakin gawat.

Tetapi yagn sudah jelas dan pasti tidak adanya radio Jakarta di udara merupakan indikasi bahwa stasiun radio tersebut tidak dikuasai oleh kaum pemberontak lagi.

Sebab kalau masih berada di tangan mereka, tentulah akan mereka pergunakan untuk kepentingan siaran-siaran mereka sendiri.

Kami masih terus berkumpul mengikuti berita-berita. Akhirnya kira-kira jam 9 malam, terdengarlah pidato Pak Harto dari corong radio Jakarta, yang mengungkapkan dan menjelaskan tentang peristiwa yang terjadi itu.

Dijelaskan, bahwa keadaan telah dapat dikuasai oleh alat-alat negara yang sah. Gambaran situasi sudah semakin jelas, situasi yang memberikan pengharapan.

Pada malam itu juga, Komandan RTP, Kapten Sumarjo, sudah sampai di Madiun dari Jakarta. Menurut dugaan kami, tentulah beliau membawa berita-berita yang lebih jelas, sebab beliau meninggalkan Jakarta pada tanggal 1 Oktober pagi-pagi dengan menumpang kereta api.

Tetapi, ternyata beliaupun tidak banyak mengetahui keadaan yang sebenarnya.

“Memang, saya melhat kesibukan-kesibukan pada pagi-pagi itu,” demikian ceritera Kapten Sumarjo. “Tentara-tentara ada yang dipusatkan di sekitar istana, dan ada pula yang ditempatkan di sekitar kantor RRI. Desas-desus yang terdengar ialah bahwa ada sesuatu gerakan yang sedang berlaku. Tetapi, tidak jelas siapa yang melakukannya dan terhadap siapa ditujukan.”

Setelah komandan RTP kembali di Madiun, dan walaupun keadaan baik di Jakarta maupun di tempat-tempat lain sudah mulai sepenuhnya dikuasai oleh ABRI, kami berpendapat sebaiknyalah kalau kami dipindahkan ke tempat lain.

Dengan persetujuan Komandan RTP kami memajukan permohonan kepada Kejaksaan Agung untuk dipindahkan dari Madiun.

Permohonan itu dibawa oleh seorang kurir yang ditugaskan oleh Komandan RTP. Permohonan tersebut kemudian diperkenankan oleh Kejaksaan Agung.

Pada tanggal 25 Oktober 1965, kami meninggalkan penjara Madiun, dipindahkan ke RTP Jakarta, setelah lebih kurang 3 tahun lamanya meringkuk di tempat yang bersejarah itu.

Tatkala kami meninggalkan rumah penjara yang terletak di tepi bengawan Madiun itu, beberapa orang tahanan-tahanan G-30-S sudah mulai masuk menggantikan tempat kami itu, untuk menunjukkan kebenaran ucapan seorang pahlawan, “Kemarin dia; hari ini saya; besok engkau.”

Satu kenang-kenangan yang tak mudah kami lupakan….

Artikel ini ditulis oleh M. Yunan Nasution, anggota DPR RI masa jabatan 1956–1960.

Ia masuk penjara Pada Masa pemerintahan Orde Lama,16 Januari 1962 dan di bebaskan 17 Mei 1966.

Ia di tangkap tanpa alasan yang jelas dan di masukkan ke penjara tanpa melalui proses Pengadilan.

(K. Tatik Wardayati )

Artikel ini telah tayang di Intisari dengan judul: Suasana di Penjara Madiun yang Dipenuhi para Tahanan Politik ‘Korban Orde Lama’ Ketika Terjadi G30S

Sumber: Intisari
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved