Senin, 29 September 2025

Disindir Jokowi, Ini Jawaban Guru Besar soal Lulusan IPB yang Kerja di Bank

Dwi Andreas Santosa pasrah disindir Presiden Joko Widodo lantaran banyak lulusan IPB yang justru bekerja di sektor perbankan.

Editor: Sanusi
ist
Mahasiswa Fakultas pertanian IPB melalui program PKM M 2017 membentuk sebuah simulasi perusahaan, yang dinamakan perusahaan 4G LTE yang memberdayakan anak-anak panti darulquran desa cemplang kecamatan cibungbulan kab. Bogor, jawa barat. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor ( IPB) Dwi Andreas Santosa pasrah disindir Presiden Joko Widodo lantaran banyak lulusan IPB yang justru bekerja di sektor perbankan.

Jokowi menyindir banyaknya sarjana pertanian yang bekerja di sektor perbankan dalam Sidang Terbuka Dies Natalis IPB ke-54 di Kampus IPB, Bogor, Rabu (6/9/2017). Menanggapi sindiran Presiden Jokowi, Dwi pun tidak membantahnya.

"Ya, memang kenyataannya seperti itu. Dulu saja waktu di (angkatan) kami, 50 persen lebih kerja di perbankan," ujar Dwi saat dihubungi Kompas.com, Rabu.

"Itu sekitar tahun 1985-1986. Jadi berlangsungnya sudah lama," ucap Ketua Umum Asosiasi Bank Benih Tani Indonesia (AB2TI) itu.

Ketika itu, lanjut Dwi, banyak bank membuka lowongan pekerjaan besar-besaran. Maka dari itu, banyak sarjana pertanian yang memilih meninggalkan ladang.

Akan tetapi kondisi ini, kata dia, tidak hanya terjadi untuk lulusan IPB saja. Banyak jebolan kampus lain yang juga akhirnya bekerja tidak di sektor pertanian. Kondisi sekarang, menurut dia, tak jauh berbeda.

Kebijakan pertanian

Meskipun bekerja di perbankan diakui relatif lebih menjanjikan, menurut Dwi, tidak menariknya sektor pertanian bagi sarjana muda utamanya disebabkan karena kebijakan pemerintah itu sendiri.

"Sektor pertanian terutama tanaman pangan seolah-olah untuk mendukung sektor yang lainnya, sehingga harga pangan ini ditekan, diupayakan serendah mungkin," ucap Dwi.

Kebijakan harga di tingkat produsen yang rendah tersebut hanya menguntungkan sektor lain seperti jasa industri atau sektor jasa.

"Karena ditekan sedemikian rupa, makin lama pendapatan petani semakin tergerus. Ketika pendapatan petani semakin tergerus, usaha di sektor tanaman pangan semakin tidak menguntungkan, siapa yang tertarik?" ucap Dwi.

Contoh teranyar, menurut dia, kebijakan Menteri Perdagangan tentang Harga Eceran Tertinggi (HET) untuk beras berdasarkan zonasi. Dwi mengatakan, kebijakan tersebut berpotensi besar menekan kesejahteraan petani.

"Karena middle man tidak akan mau rugi. Kerugian akan ditransfer ke petani langsung, dengan cara apa? Menekan pembelian gabah di petani," kata Dwi.

Selain pricing policy, keterbatasan lahan juga menjadi salah satu disinsentif daya tarik sektor pertanian khususnya subsektor tanaman pangan.

Namun, kata dia, lahan yang luas pun apabila dengan sistem sewa belum tentu memberikan keuntungan optimal bagi petani.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan