Berita KBR
Tak Sekedar Gelar, Miss Transchool Emban Tugas Bela Hak Waria
Malam Inagurasi Miss Transchool 2017 adalah sebuah ajang pemilihan waria muda yang nantinya ditugaskan melakukan pembelaan terhadap waria.
TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini kontes Miss Waria Muda digelar di Jakarta. Namun ini tidak seperti ajang kecantikan pada umumnya. Ini adalah sekolah bagi waria belajar hak-hak warga negara.
Berikut kisah lengkapnya seperti yang dilansir dari Program Saga produksi Kantor Berita Radio (KBR).
Gelaran kontes kecantikan mungkin sudah lumrah. Tapi, Sabtu malam di bulan Februari, jadi tak biasa, karena semua pesertanya adalah transgender perempuan muda.
Sebanyak 22 transwoman melenggak-lenggok di atas panggung dan berpose. Mereka juga, menjawab pertanyaan dewan juri.
Malam Inagurasi Miss Transchool 2017 adalah sebuah ajang pemilihan waria muda yang nantinya ditugaskan melakukan advokasi atau pembelaan terhadap waria di Jabodetabek.
Tapi jauh sebelum kontes ini akhirnya digelar, 22 waria muda ini mengikuti Transchool, atau sekolah alternatif sejak November tahun lalu.
Di sana mereka diajarkan kesehatan reproduksi, Hak Asasi Manusia (HAM), advokasi, dan paling penting penerimaan diri.
“Jadi apa sih yang sebenarnya negara harus lakukan kepada kita sebagai warga negara? Kalau kita punya 22, tahun depan 22 lagi, ada 100 orang saja yang berpikir kritis, itu akan semakin banyak yang akan menyuarakan ketidaksetaraan yang terjadi,” ungkap Koordinator Kegiatan Malam Inagurasi Miss Transchool 2017, Khanza Vina.
Digagas Perkumpulan Sanggar Swara, perhelatan Miss Transchool sesungguhnya sudah ada sejak 2010.
Sementara Transchool sendiri diselenggarakan secara berkala oleh Sanggar Swara bertujuan demi meningkatkan posisi tawar waria muda dalam mengadvokasi hak-hak mereka sebagai warga negara.
Sebab di Indonesia, mayoritas waria dibuang oleh keluarganya sehingga mereka terpaksa berhenti mengenyam pendidikan.
Adapun yang bersekolah kerap dapat bully oleh temannya. Tanpa pendidikan formal, kebanyakan waria berakhir di salon atau jadi pekerja seks.
LSM Arus Pelangi bahkan mencatat 9 dari 10 LGBT mengalami kekerasan di ruang domestik dan publik.
Menurut Khanza, kondisi itu membuat Transchool bukanlah sekadar ajang kecantikan, melainkan sekolah aktivis.
“Setidaknya mereka akan jadi peer educator atau role model di komunitasnya, bahwa harapannya kawan-kawan ini akan membagi itu kepada kawan-kawan yang belum terjangkau sama kami. Jadi nggak putus. Jadi setelah dari sini teman-teman punya PR lagi,” ujar Khanza.
Pentingnya Transchool juga diungkapnya Rebecca Nyuei, Miss Transchool 2015. Kata dia, Transchool membuatnya menerima diri secara penuh dan menjadi lebih percaya diri.
“Itu sebenarnya kayak menanamkan nilai. Di Transchool ini kan saat pre-test mereka bilang lebih suka materi penerimaan diri. Karena benar-benar mereka berada di fase mencari jati diri,” ungkap Rebecca.
Begitu pula, menurut Rere, peserta Transchool 2017.
“Transchool yang saya ikuti memang benar-benar berbeda. Di sini tuh tidak melihat kecantikan atau fisik belaka. Tapi lebih ke kemampuan, sikap, cara berperilaku. Cara pembelajarannya pun sangat berbeda: Kita memahami segala hak kesehatan seksual, HIV/AIDS, advokasi, HAM, feminisme, dan banyak lagi,” kata Rere.
Magdalena Sitorus, anggota Komnas Perempuan yang juga juri kontes malam itu, mengatakan pendidikan HAM dan advokasi penting bagi komunitas yang dimarjinalkan seperti waria.
“Itu kan capacity building sebagai individu dan kelompok dan per group, tahu akan haknya, dan tahu kalau mereka mengalami sesuatu ke mana mereka pergi. Itu juga kan pengetahuan. Dan mereka tahu ke mana menjaring mitra. Seperti Komnas Perempuan juga melihat mereka sebagai stakeholder kami,” ujar Magdalena.
Juri akhirnya telah memilih 3 finalis. Dan Rere terpilih sebagai Miss Transchools tahun ini. Kata transpuan asal Bekasi ini, perjalanannya justru baru dimulai.
“Karena ke depannya bagaimana cara kita bersikap di masyarakat, bagaimana cara kita memanfaatkan ilmu yang sudah kita dapatkan di Transchool ini. Bagaimana cara kita bisa memberikan kebahagiaan ke teman-teman lain,” ungkap Rere.
Berbekal pengetahuan serta rasa percaya diri dari Transchool, Rere dan para waria muda ini akan berupaya menghapus stigma dalam masyarakat.
“Kalau kita berharap untuk disamakan jangan dianggap remeh oleh masyarakat ya masih susah. Tugas kita ya mengubah pandangan masyarakat kepada kita. Bahwa kita sama, kita pun baik, kita juga bisa bermanfaat di lingkungan,” tutup Rere.
Penulis: Rio Tuasikal/Sumber: Kantor Berita Radio (KBR)