Kamis, 2 Oktober 2025

Korupsi KTP Elektronik

Proyek e-KTP Bermasalah Sejak Lahir

Setiap tahun, ada 3,5 juta orang membuat KTP. Ini karena orang itu telah menginjak usia 17 tahun dan membutuhkan kartu identitas.

Editor: Hendra Gunawan
Harian Warta Kota/henry lopulalan

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Proyek pengadaan KTP berbasis NIK periode 2011-2012 berujung masalah. Uang negara sebesar Rp 5,9 Triliun yang semula akan dipergunakan membiayai anggaran, malah dijadikan bahan bancakan bagi sejumlah orang.

Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), Agus Prabowo, menilai pengadaan e-KTP itu sudah bermasalah sejak awal. Itu karena pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) melakukan pendekatan proyek bukan kelembagaan.

Padahal, menurut dia, e-KTP itu merupakan layanan pemerintah kepada masyarakat yang sifatnya setiap hari digunakan di seluruh Indonesia. Setiap tahun, ada 3,5 juta orang membuat KTP. Ini karena orang itu telah menginjak usia 17 tahun dan membutuhkan kartu identitas.

Ia menjelaskan, KTP itu merupakan sesuatu yang dinamis dan keberlanjutan yang dibutuhkan semua penduduk Indonesia. Oleh karena itu, ini menjadi ranah dari pemerintah untuk membuat dan menyediakan kartu identitas tersebut.

"Cara mengeksekusi tidak bisa dengan proyek. Nah kemarin itu dengan proyek, seolah-olah kontrak dengan pihak ketiga, dua tahun selesai. Tidak bisa. Pertanyaannya begitu, salahnya di mana? Salah dari lahir," tutur Agus Prabowo, kepada wartawan ditemui di kantornya, Rabu (15/3).

LKPP sebagai lembaga yang bertugas melakukan reformasi pengadaan barang/jasa pemerintah telah merekomendasi kepada Kemendagri terkait e-KTP. Saat menjabat ketua LKPP, Agus Rahardjo, pernah menyarankan Kemendagri tak menggabungkan sembilan lingkup pekerjaan proyek pengadaan e-KTP.

Sembilan lingkup pekerjaan proyek pengadaan e-KTP tersebut, yaitu pengadaan blangko KTP berbasis chip, pengadaan peralatan di data center dan disaster recovery center di pusat, pengadaan peralatan (perangkat keras) Kabupaten/Kota, pengadaan peralatan (perangkat keras) kecamatan.

Pengadaan sistem automated fingerprint identification system (AFIS), pengadaan perangkat lunak (software/application/OS), layanan keahlian pendukung kegiatan penerapan KTP elektronik, bimbingan teknis operator dan pendampingan teknis, dan penyediaan jaringan komunikasi data.

Menurut Agus Prabowo, alasan pemberian rekomendasi itu karena tidak ada perusahaan penyedia yang secara khusus mampu melaksanakan proyek pengadaan e-KTP. Sehingga sembilan paket proyek pengadaan e-KTP seharusnya dipisah.

Namun, saran tersebut tidak diindahkan pihak Kemendagri, sehingga terjadi dugaan korupsi dalam tender proyek tersebut.

"Untuk melaksanakan e-KTP itu ada kira-kira sembilan pekerjaan besar. Saya tanya ada tidak penyedia yang komplit punya keahlian? Tidak ada. Artinya, ideal harus dipecah-pecah keahlian. Pada waktu itu, rekomendasi LKPP jangan diserahkan semua satu paket, tetapi dipilah-pilah," kata dia.

Sejauh pengamatan dia, pembahasan mengenai e-KTP sehingga dapat mengeluarkan suatu rekomendasi itu dilakukan melalui mekanisme rapat. Pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka, sehingga tak didominasi oleh Agus Rahardjo.

Pernyataan itu sekaligus membantah Wakil Ketua DPR, Fahri Hamzah, yang mengatakan Agus Rahardjo memiliki konflik kepentingan dalam kasus megakorupsi ini karena sempat bermasalah dengan Kemendagri. Agus disebut pernah datang dengan kecenderungan pada konsorsium yang kalah.

"Pada waktu itu kan saya bantu beliau sebagai deputi dua kali yang membidangi regulasi dan SDM. Sejauh pengamatan saya terbuka, pengambilan keputusan, kita selalu rapat," ujarnya.

Ke depan, mengenai kelanjutan proyek e-KTP tersebut, kata dia, diperlukan keputusan politik tingkat tinggi dari Menteri Dalam Negeri ataupun Presiden. Dia menyarankan supaya kelanjutan proyek itu hanya diselesaikan di tingkat internal Kemendagri.

"Harus ada keputusan politik tingkat tinggi. Keputusan presiden barangkali. Ini mau dilanjutkan atau tidak. Tetapi, kalau bayangan saya sebaiknya ini dilembagakan. Menjadi urusan internal Kemendagri. Jadi Ditjen Dukcapil itu menjadi lembaga yang mengurusi e-KTP secara in house," tambahnya.

Upaya sosialisasi revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan usulan pengajuan hak angket untuk menginvestigasi KPK dalam mengusut korupsi e-KTP mengundang sejumlah pertanyaan.

Pasalnya, dua hal tersebut muncul di saat persidangan kasus korupsi e-KTP berlangsung. Terlebih, dalam berkas dakwaan, sebanyak 51 legislator disebut menerima aliran dana korupsi yang merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun.

Apalagi, ketua DPR saat ini, Setya Novanto, disebut berperan penting dalam merencanakan proyek dan pembagian aliran dana.

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai keduanya ibarat aksi dan reaksi yang terjadi antara KPK dan DPR.

"Karena muncul bebarengan, sulit untuk menepis korelasi antara tiga hal itu. Kasus e-KTP diduga melibatkan deretan nama dari parlemen, bahkan ketuanya diduga terlibat," tutur Lucius melalui pesan singkat.

Kemunculan kembali wacana revisi UU KPK yang hampir bersamaan dengan persidangan kasus e-KTP dinilainya mustahil tanpa ada hubungan satu sama lain. Lucius mengatakan bahwa tidak salah jika publik membaca upaya merevisi UU KPK dan usulan penggunaan hak angket kasus e-KTP sebagai bagian dari cara DPR "membela diri" terhadap "serangan" kasus e-KTP.

Hal mencurigakan lain bagi Lucius adalah, saat ini revisi UU KPK tidak masuk dalam daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2017.

Lucius pun menilai revisi UU KPK sarat dengan kepentingan untuk melemahkan KPK. Hal itu terlihat dengan wacana pembentukan Dewan Pengawas KPK yang ditunjuk Presiden dan keharusan bagi KPK meminta izin sebelum menyadap.

"Maklum saja, dengan dijadikannya DPR sebagai target KPK, situasi itu tak pelak membuat DPR menjadi tak nyaman dan selalu merasa terteror oleh KPK," ujar Lucius.

Demikian pula dengan kemunculan usulan hak angket kasus e-KTP dari Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah seusai jaksa KPK menyebut sejumlah legislator dalam sidang perdana kasus korupsi e-KTP.

Lucius menilai janggal usulan tersebut. Dia menyatakan, proyek pengadaan e-KTP memang melibatkan pemerintah, tetapi dalam hal anggaran justru diduga anggota DPR terlibat.

"Lalu bagaimana DPR nanti akan memeriksa mereka sendiri," kata Lucius.
Ia menambahkan, hak angket memang bisa digunakan untuk menyelidiki kebijakan pemerintah yang diduga merugikan kepentingan publik.

Kasus e-KTP juga termasuk yang merugikan publik. Karena itu DPR bisa membentuknya kapan saja.

"Pertanyaannya kenapa baru sekarang inisiatif hak angket dimunculkan dan itu bersamaan dengan proses hukum di KPK. Ke mana DPR sebelum kasus ini mulai ramai dibicarakan sejak 2011 silam," kata dia.

Karena itu, sosialisasi revisi UU KPK dan usulan hak angket terkait e-KTP patut diduga sebagai intervensi DPR terhadap proses hukum yang tengah berlangsung di KPK, yang notabenenya banyak anggota DPR yang diduga terlibat.

"Ini semua bisa dibaca sebagai strategi intervensi DPR terhadap proses penegakan hukum. Usulan Fahri bisa dianggap Sebagai teror bagi KPK agar DPR terbebas dari sasaran KPK dalam mengungkap pelaku korupsi e-KTP," ucap Lucius.

Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) Lola Ester mengatakan, nama-nama pejabat yang diduga menerima aliran dana dalam proyek e-KTP adalah orang-orang yang masih berkuasa.

Sejumlah nama besar yang disebut menerima uang dalam surat dakwaan kasus e-KTP merupakan politisi dan anggota DPR. Hal ini masih memungkinkan penggunaan kekuasaan untuk melemahkan KPK dengan cara merevisi UU KPK oleh DPR.

"Dakwaan e-KTP memang menyebutkan nama-nama pejabat publik yang diduga menerima aliran dana. Artinya, revisi UU KPK diduga keras merupakan upaya melemahkan KPK dalam penanganan perkara tersebut," ujar Lola. (tribunnews/glery lazuardi/theresia felisiani/kompas.com)

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved