Pilgub DKI Jakarta
93 Anggota DPR Dukung Pansus 'Ahok Gate'
Fadli Zon mengaku telah menerima 93 tanda tangan anggota DPR yang menyetujui hak angket tersebut.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wakil Ketua DPR Fadli Zon berencana menggelar rapat pimpinan membahas wacana hak angket 'Ahok Gate'.
Fadli mengaku telah menerima 93 tanda tangan anggota DPR yang menyetujui hak angket tersebut.
Fadli telah menerima koordinator pengusul hak angket yakni Riza Patria dari Gerindra, Fandi Utomo dari Partai Demokrat, Yandri Susanto dari PAN dan Al Muzzammil Yusuf dari PKS.
"Sampai sejauh ini pagi hingga siang ditandatangani 93 anggota, itu belum semua dan lebih dari satu fraksi. UU MD3 pengajuan hak angket ditandatangani minimal 25 anggota dan lebih dari satu fraksi," kata Fadli Zon.
Politikus Partai Gerindra itu mengatakan pihaknya telah berdiskusi dengan para ahli termasuk mengkaji pendapat Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo. Tjahjo, kata Fadli, sempat menyampaikan pemberhentian Ahok menunggu masa cuti berakhir.
"Ini ada satu inkonsistensi. Sumpahnya Presiden akan patuh terhadap undang-undang. Dalam kasus ini ada UU konstitusi yang dilanggar yakni UU Pemda," kata Fadli.
Fadli mengatakan praktik inkonsistensi itu membuat adanya perbedaan perlakuan. Menurut Fadli, aktifnya Ahok kembali menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dapat mengeluarkan kebijakan yang menguntungkan diri sendiri.
"Nanti (usulan hak angket) akan dibacakan di Rapim lalu dibawa ke Paripurna untuk persetujuan. Kita lihat ada persetujuan di paripurna, siapa yang mendukung dan menolak akan ketahuan," kata Fadli.
Fraksi Partai Nasdem menilai Pansus Angket 'Ahok Gate' hanya dibuat-buat saja oleh fraksi Partai Gerindra. Hal tersebut dikemukakan Wakil Ketua Fraksi Nasdem Jhonny G Plate.
"Hak Angket Ahok Gate hanya mengada-ada saja," ujar Jhonny.
Nasdem pun menolak menandatangani Pansus Angket 'Ahok Gate'. Karena kasus Ahok menjadi Gubernur bisa dibahas melalui rapat komisi II DPR RI.
"Kami menolak ide pansus ini. Jika ada yang ingin diklarifikasi DPR RI maka bisa menempuh melalui rapat kerja komisi II, Panja komisi II atau Pansus antar komisi melalui Paripurna," ungkap Jhonny.
Jhonny menambahkan masalah Ahok tidak perlu melalui Pansus Angket. Karena kata anggota Komisi XI DPR RI itu ada banyak opsi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan polemik jabatan Gubernur DKI Jakarta tersebut.
"Tidak perlu semua masalah negara diselesaikan melalui pansus, masih ada mekanisme lainnya," jelas Jhonny.
Terkait serah terima jabatan gubernur DKI Jakarta, fraksi Nasdem mendukung keputusan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Dalam hal ini pencopotan jabatan Gubernur DKI Basuki Tjahja Purnama (Ahok) menurut Jhonny harus menunggu tuntutan yang ditujukan kepada Ahok dalam persidangan.
Selain itu kata Jhonny, Ahok dikenakan dua pasal. Akibat hal itu ada pasal alternatif yang membuat penafsiran berbeda.
"Kami mendukung kebijakan Mendagri menunggu kepastian dakwaan jaksa (dakwaan alternatif 156 dan 156 a KUHP)," ungkap Jhonny.
Fraksi Golkar mengaku belum mendengar wacana hak angket Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digalang sejumlah fraksi di parlemen.
Hingga saat ini tercatat baru PKS, Demokrat, Gerindra dan PAN yang menggalang hak angket tersebut.
"Kita belum mendengar. Kita lihat hak angket soal apa," kata Ketua Fraksi Golkar Kahar Muzakir.
Kahar belum melihat urgensi hak angket tersebut. Apalagi, hari pencoblosan tinggal dua hari lagi.
"Faktanya sudah jadi gubernur lagi, kan tanggal 15 Februari sudah pemilihan. Iya (belum ada urgensi) tinggal beberapa hari. Siapa yang menang urusan selesai," kata Kahar.
Sementara itu Wakil Ketua Komisi II DPR RI dari PKB Lukman Edy menilai Pansus Angket "Ahok Gate" tidak komprehensif. Karena angket tersebut hanya ditujukan kepada Ahok, bukan kepada gubernur yang terjerat kasus lainnya.
"Kita bilang kalau hanya soal Ahok, kita nggak mau," tegas Lukman.
Lukman memaparkan jika memang Pansus Angket untuk memperbaiki sistem Pilkada, sebaiknya disasar kepada para kepala daerah yang terkena kasus. Hal itu bisa mendorong perbaikan aturan.
"Kalau ada niat ingin memperbaiki Pilkada secara menyeluruh, maka persoalan harus jadi satu paket untuk diangket," ungkap Lukman.
Lukman mengakui saat ini pengawasan di Pilkada tidak ditegakkan. Hal itu yang memicu banyak permasalahan terutama saat pemilihan kepala daerah.
"Karena kita melihat sudah tidak cukup lagi fungsi pengawasan untuk mengawasi persoalan-persoalan yang begitu banyak di pilkada 2017 ini," jelas Lukman.
Fraksi Hanura angkat bicara mengenai wacana Hak Angket Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok yang digulirkan PKS.
Sekretaris Fraksi Hanura Dadang Rusdiana menilai Komisi II DPR RI dapat memanggil Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Hal itu untuk mendapat penjelasan pemerintah mengenai Ahok yang belum dinonaktifkan sebagai Gubernur DKI Jakarta meski berstatus terdakwa.
"Daripada muncul polemik satu sama lain, lebih baik Komisi II meminta penjelasan resmi mendagri dalam hal ini. Tidak usah ribut-ribut dulu," kata Dadang.
Menurut Dadang, persoalan tersebut hanya perbedaan sudut pandang. Pasal 83 ayat 1 UU no 23 Tahun 2014 tentang Perintah Daerah yakni diberhentikan sementara bila melakukan tindak pidana sekurang-kurangnya 5 tahun.
Sedangkan Mendagri mendasarkan diri pada 156 KUHP dimana dakwaan terhadap Ahok maksimal 4 tahun.
"Sudut pandang ini yang digunakan mendagri sehingga tidak memberhentikan sementara Ahok," kata Dadang.
Dadang mengingatkan hak angket digunakan menyangkut persoalan penting, strategis dan berdampak luas. Sedangkan masalah beda penafsiran UU dan KUHP, kata Dadang, bisa digelar rapat antara Komisi II dan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
"Apalagi pakai mewacanakan hak angket segala. Itu sangat berlebihan. Memangnya Indonesia itu hanya Jakarta? Energi kita dikuras buat menguras Jakarta," kata Dadang.
Lima fraksi DPRD DKI Jakarta juga menyatakan sikap. Mereka menolak bekerjasama dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan pihak eksekutif DKI Jakarta lainnya.
Kelima fraksi itu antara lain PKS, PAN, Gerindra, PKB, dan PPP. Mereka beralasan, bahwa Ahok berstatus terdakwa dalam kasus dugaan penodaan agama. Seharusnya, Ahok tetap nonaktif.
Hal itu dikatakan Triwisaksana, perwakilan dari lima fraksi tersebut di Gedung DPRD DKI Jakarta, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat.
"Menurut ketentuan undang-undang Pemerintahan Daerah, kepala daerah itu mesti nonaktif saat status terdakwa," tegasnya.Rencanannya mereka akan mengirim surat kepada Presiden Jokowi untuk menyampaikan sikap tersebut secara resmi. (fer/nic/len/wly)