Selasa, 7 Oktober 2025

PSI: Anak Muda adalah Subjek, Terjunlah ke Politik!

Secara kuantitatif, besarnya jumlah anak muda merupakan pasar politik yang menarik untuk digarap, tapi seberapa efektif?

Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS/HERUDIN
Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Grace Natalie bersama Ketua PSI Isyana Bagoes Oka, dan Sekjen PSI Raja Juli Antoni serta pengurus lainnya mengadakan jumpa pers, di Jakarta, Selasa (11/10/2016). Jumpa pers terkait PSI menjadi satu-satunya partai yang lolos dalam verifikasi partai politik tahun 2016 yang dilakukan Kementerian Hukum dan HAM. TRIBUNNEWS/HERUDIN 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Untuk ketiga kalinya Partai Solidaritas Indonesia (PSI) menggelar diskusi Pojok Tanah Abang Solidarity Lecture pada Rabu (7/12/2016) lalu di basecamp DPP PSI, Jl Wahid Hasyim Jakarta.

Diskusi bertema “Membedah Generasi XYZ” ini menghadirkan pembicara Direktur Eksekutif Charta Politika Yunarto Wijaya dan pendiri Teman Ahok Amalia Ayuningtyas. Diskusi dipandu oleh Sandra Sahelangi, mantan jurnalis yang kini menggeluti isu-isu anak muda lintas kultural.

“Kader dan pengurus PSI kebanyakan berusia 17-34 tahun, di PSI anak muda adalah subjek, apalagi pada 2019 mendatang jumlah pemilih dari kalangan anak muda akan mencapai mayoritas,” kata Ketua DPP PSI Sumardy saat membuka diskusi.

Munculnya wacana generasi XYZ, menurut Sandra terkait banyak isu, dari pekerjaan, politik, budaya hingga teknologi. Diawali dengan generasi baby boomer pasca-Perang Dunia, disusul generasi Y yang kerap diidentikkan dengan generasi MTV. Setelah itu hadir generasi Y atau milenial yang akrab dengan media sosial, lalu generasi Z yang menguasai aplikasi teknologi.

Karakter Pemilih Anak Muda

Secara kuantitatif, besarnya jumlah anak muda merupakan pasar politik yang menarik untuk digarap, tapi seberapa efektif? “Anak muda lebih kritis dan melek politik, tapi tingkat partisipasi justru menurun, polanya sama seperti di Inggris dan Amerika,” ungkap Yunarto.

Menggunakan teori individual choice behavior, anak muda tertarik dengan isu-isu kebaruan, suka dengan kandidat yang bisa menunjukkan diri bisa dipercaya, dan adanya konteks yang bisa membangkitkan emosi, jelas Yunarto. “Dalam kasus Ahok, ada oposisi biner, di mana Ahok dianggap sebagai harapan, tetapi belakangan dianggap sebagai musuh bersama,” kata Yunarto.

Dalam hal tipologi partai politik, sejak politik aliran 1955 evolusi partai semakin rumit, membuat anak muda cenderung muak dengan politik. “Untuk membesarkan sebuah partai, setidaknya perlu ada ideologi, tokoh, dan infrastruktur, sekarang ditambah dengan kehadiran media dan momentum,” jelas Yunarto.

Partai seperti PDIP dan PKS mempunyai garis ideologi yang membuat pemilih loyalnya tidak mau bergeser. Kebanyakan partai kemudian berkembang menjadi semacam fans club, seperti Demokrat dengan SBY. “PDIP campuran dari pendukung Megawati, penganut ideologi Soekarnoisme, ditambah sekarang fans Jokowi,” terang Yunarto.

Secara infrastruktur, Golkar yang puluhan tahun menguasai birokrasi suaranya tidak pernah turun di kisaran 14%. “Riset Saiful Mujani pada 2004 menunjukkan kebanyakan pemilih Golkar berusia 50 tahun ke atas, sudah terbiasa memilih lebih dari tiga kali berturut-turut,” kata Yunarto.

Artinya, lebih baik menyasar pemilih pemula, sekali suka akan cenderung fanatik, bisa menjadi social influencer yang lebih kuat. Secara kuantitatif jumlah anak muda besar, tetapi secara kualitatif bersifat swing voter. “Demokrat sudah dua kali berturut-turut, tinggal sekali lagi bisa menjadi pilihan loyal, keburu kolaps karena diterpa korupsi,” lanjut Yunarto.

Fenomena anak muda dalam politik bisa dijelaskan dalam 4C, yaitu critical voter, change, communicative, dan community. Anak muda cenderung kritis, menyukai perubahan, harus didekati dengan bahasa anak muda, dan paling mudah dipengaruhi teman sepermainan. “Di Amerika, kemenangan Obama dipengaruhi kenaikan suara anak muda,” pungkas Yunarto.

Wadah yang Kredibel

Amalia mengisahkan awal mula berdirinya Teman Ahok, dari gerakan sosial creative campaign pada awal 2015, berkembang menjadi relawan pendukung Ahok. “Dulu melihat politik kelihatan riuh dan berbelit-belit, kami juga bukan kerabat politisi mana-mana,” cerita Amalia.

Saat masih mahasiswa, Amalia merasakan sebagai generasi Y tidak punya beban dalam melakukan sesuatu, berani untuk trial and error. “Sayangnya berhenti hanya jadi selebrasi, memperingati Hari Anti-Korupsi atau Hemat Energi, tetapi tidak bisa menjadi advokasi vertikal, hanya lewat politik yang bisa mengeskalasi,” kata Amalia.

Kemenangan Jokowi-Ahok pada 2012, lalu sukses berturut-turut Jokowi sebagai walikota, gubernur dan presiden membuat Amalia tersentak. “Kami melihat ada harapan, orang-orang dengan rekam jejak yang baik dan bisa menggoyang oligarki,” lanjut Amalia.

Bagi Amalia, Teman Ahok adalah wadah untuk anak muda mengaktualisasi diri. “Selama ada wadah yang kredibel, anak muda mau terlibat dalam politik,” kata Amalia. Tentu saja ada kritik bahwa anak muda kurang pengalaman, banyak risiko gagal, tetapi yang penting harus berkelompok supaya tidak merasa sendirian, saran Amalia.

Anak muda juga dikenal galau, masih labih dalam memilih, apakah sebaiknya berkampanye di ujung saat dekat pemilihan? “Justru rugi kalau mau membeli suara anak muda, mereka bisa digaet kapan saja, tidak perlu menunggu hari H,” jawab Yunarto.

Anak muda secara emosional suka yang ekstrem, sekarang yang membenci SBY dulunya adalah pendukung SBY. “Jadi dekati anak muda secara ekstrem juga,” saran Yunarto.
Kasus Ahok juga menyiratkan adanya tsunami politik, prestasi kerja Ahok dilibas dengan isu penistaan. “Hanya gara-gara postingan Buni Yani, media sosial adalah cermin budaya instan paling ekstrem,” jelas Yunarto.

Menurut Amalia, anak muda bisa dengan mudah pindah dari kotak identitas ke kotak yang lain. “Di Amerika, anak-anak muda seusia saya menyukai Bernie Sanders, setelah tersingkir mereka melihat Hillary dan Trump sama saja,” kata Amalia. Di Indonesia era “lo lagi lo lagi” sudah berakhir, anak muda mencari bentuk politik baru, gerakan dan tokoh baru, lanjut Amalia.

Kasus Al Maidah yang menerpa Ahok dinilai Amalia terlalu lebay dan didramatisasi. “Anak-anak muda yang terimbas berada dalam kotak realitas tertentu, sebagian besar memilih jadi penonton saja,” simpul Amalia. Lama-lama generasi Y akan merasa enek melihat aksi-aksi seperti 411 dan 212, kata Amalia.

Lebih lanjut Amalia menginginkan anak muda lebih banyak terjun ke politik. “Ahok mengunggah video aktivitasnya sebagai upaya good governance, saat dikritik oleh banyak pengamat tata kota, mestinya anak muda yang tampil,” kritik Amalia.

Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved