40 Persen dari 80 Mantan Narapidana Teroris Mampu Merakit Bom
"Ini data belum saya kroscek ke Densus 88 Mabes Polri, Data A1 ada di sana (Densus 88). Tapi intinya kita melakukan pemantauan,"
Laporan Wartawan Tribunnews, Taufik Ismail
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Berbagai langkah dilakukan aparat penegak hukum untuk menangkal penyebaran paham radikal dan aksi teror.
Satu diantaranya dengan melakukan pemantauan terhadap para mantan narpidana tindak pidana terorisme.
Direktur Keamanan Negara, Baintelkam Polri, Kombes Djoko Mulyono mengatakan sebagian besar dari mantan narapidana terorisme masih menganut paham radikal yang bisa disebarluaskan.
"Pengawasan ini terus dilakukan dengan berpandangan bahwa potensi terorisme ini meningkat, karena mereka (Mantan Napi) bisa merekrut dan melebarkan jaringan," ujarnya di kawasan Salemba, Jakarta, Senin (22/8/2016).
Berdasarkan catatan mabes Polri, terdapat 80 orang yang masih memiliki paham radikal.
Dari jumlah tersebut 40 persen diantaranya memiliki kemampuan merakit bom.
"Ini data belum saya kroscek ke Densus 88 Mabes Polri, Data A1 ada di sana (Densus 88). Tapi intinya kita melakukan pemantauan," katanya.
Pemantauan yang dilakukan Polri, menurut Djoko satu diantaranya dengan memberikan perintah kepada setiap daerah tempat pulangnya teroris setelah dipenjara.
Selain itu ada juga pengawasan melekat yang dilakukan Densus 88 dalam program Deradikalisasi.
"Kita sering memberikan TR (telegram rahasia), arahan, misal sekian Napi mau bebas. Bebasnya ke mana, dia mau tinggal di mana, nanti pulangnya ke mana?, polisi setempat akan mengawasi," katanya.
Kurangnya Pengawasan LP
Pengawasan yang dilakukan aparat penegak hukum tidak terlepas dari longgarnya pengawan terhadap Napi saat mendekam di dalam penjara.
Tidak sedikit Napi yang ditahan lantaran terlibat tindak pidana terorisme, justru paham radikalnya semakin tinggi dan kuat begitu keluar penjara.
"Saya tidak mengecilkan LP. Namun mereka tadinya yang radikal, kemudian dipenjara, setelah keluar penjara malah siap jadi pengantin (pelaku bom)," paparnya.
Contoh yang terjadi, adalah kasus pelaku bom Thamrin, Afif alias Sunakim.
Menurutnya Afif pernah satu sel dengan Aman Abrdurrahman.
Saat satu sel tersebut doktrinasi terjadi.
"Yang di Thamrin itu waktu ditahan di LP sering mijet Aman Abdurrahman, jadi bagaimana pembinaan di LP. Sama-sama dipenjara. Waktu ditahan sering mijetin Aman," katanya.
Kurangnya Pengawasan Berkelanjutan
Djoko tidak menampik jika aksi teror masih terjadi lantaran kurangnya pengawasan.
Menurutnya tidak ada keberlanjutan pengawasan terhadap Mantan Narapidana Terorisme begitu keluar dari penjara.
Seperti yang terjadi pada kasus Bom Thamrin.
Pelaku sebenarnya sudah diawasi.
Hanya saja polisi yang melakukan pengawasan dipindahtugaskan.
"Seharusnya mereka melapor ketika ada tugas pengawasan itu. Sehingga yang menggantikan dia akan melakukan pengawasan kembali sehingga tidak kecolongan," katanya.
Namun, menurut Djoko, seketat apapun pengawasan, tidak menjamin mereka yang memiliki niat jahat terorisme, tidak menyebarkan pahamnya.
Ditambah lagi pengawasan mesti dilakukan hati-hati dan sesuai aturan, karena yang dipantau statusnya merupakan mantan Napi yang sudah mendapatkan sanksi atas kesalahannya.
"Pengawasan juga tidak bisa dilakukan melekat terus menerus, kemana mereka pergi diikuti. Mereka kan statusnya mantan napi, yang sudah tidak bersalah," katanya.