Reshuffle Kabinet
Jangan ada Lagi Kegaduhan Antar-Menteri
Diharapkan tidak ada lagi terjadi kegaduhan-kegaduhan dan miskomunikasi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan perombakan kabinet atau reshuffle jilid II di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta (27/7/2016).
Diharapkan tidak ada lagi terjadi kegaduhan-kegaduhan dan miskomunikasi antar anggota kabinet ketika sebelum perombakan terjadi.
"Kegaduhan dan miskomunikasi yang keras terjadi diharapkan tidak lagi menjadi masalah karena kepentingan Politik yang terbangun semata-mata untuk kepentingan Rakyat," ujar Ketua Pusat Studi Politik & Keamanan (PSPK) Universitas Padjadjaran, Bandung, Muradi kepada Tribunnews.com, Rabu (27/7/2016).
Lebih lanjut menurutnya, diganti dan bergesernya sejumlah Menteri di Kabinet Kerja harus menegaskan penguatan arah gerak pemerintahan.
Jadi, kata dia, resuffle bukan sekedar bagi-bagi kekuasaan dan atau sekedar men bangun daya tawar politik dalam konteks penyeimbangan Politik pemerintahan.
Selain itu sosok baru menjadi menteri harusnya mampu menjebatani antara kepentingan Politik Presiden dengan harapan publik.
Namun demikian, hal tersebut tidak mudah dilakukan mengingat waktu efektif pemerintahan hanya tinggal 2 tahun.
Dimana sisa setahun lainnya akan banyak digunakan untuk persiapan partai Politik dalam menghadapi pileg dan pilpres 2019. Sehingga pemerintahan tidak lagi efektif.
Oleh sebab itu, butuh langkah-langkah strategis agar arah gerak pemerintahan dapat efektif dan mampu mengimplementasikan program dan harapan publik.
Paling tidak menurutnya, ada empat hal yang kemudian dapat dipertimbangkan oleh Presiden Jokowi untuk dilakukan agar efektifitas kabinet dapat bekerja dengan baik.
Yaitu pertama, komunikasi Politik antara presiden dengan partai Politik pengusung dan pendukung dapat diefektifkan.
Terutama dengan PDI Perjuangan karena Presiden adalah kadernya.
Penekan komunikasi Politik yang efektif tersebut juga bersandar pada penguatan komunikasi Politik dengan partai Politik pengusung lainnya.
Menurutnya, mekanisme yang terbangun harus mencerminkan komunikasi Politik yg bersandar pada penguatan kepercayaan, bukan sekedar Bagi-Bagi kekuasaan.
Kedua, pengawasan dan kontrol efektifitas langsung dari presiden.