Dianugerahi Gelar Honoris Causa, Ginandjar Kartasasmita Ingatkan Hubungan Indonesia-Jepang
Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri Tahun 1998-1999, Ginandjar Kartasasmita, dianugerahi gelar Honorary Doctorate.
Laporan Wartawan Tribunnews, Ferdinand Waskita
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Mantan Menteri Koordinator Ekonomi Keuangan dan Industri/Kepala Bappenas Republik Indonesia Tahun 1998-1999, Ginandjar Kartasasmita, dianugerahi gelar Honorary Doctorate.
Gelar tersebut didapat Ginandjar dari sebuah perguruan tinggi terkemuka di Jepang, National Graduate Institute for Policy Studies (GRIPS) di Tokyo, Jepang.
Penyerahan gelar kehormatan tersebut diberikan langsung Rektor GRIPS Profesor Takashi Shiraishi, yang juga merupakan seorang ahli Indonesia.
Acara penganugerahan gelar tersebut dilakukan bersamaan acara wisuda di kampus tersebut, Jumat (25/3/2016).
Ginandjar mendapatkan anugerah Honorary Doctorate karena kontribusinya dalam peningkatan hubungan internasional antara Indonesia dan Jepang.
Ginandjar juga memberikan sumbangan kepada perguruan tinggi tersebut dalam bidang pendidikan dan riset kapasitasnya sebagai Senior Fellow dan salah satu anggota International Advisory Council.
Bagi Ginandjar, penganugerahan gelar Doktor Honoris Causa ini merupakan gelar yang kelima.
Ginandjar menegaskan Indonesia dan Jepang sudah berhubungan baik lebih dari lima puluh tahun.
"Jepang sudah menjadi sumber penting dalam pembangunan di Indonesia. Bantuan Jepang melalui Overseas Development Assistance (ODA) telah banyak mendukung pembangunan dalam bidang pendidikan, kesehatan, institusi, dan infrastruktur," kata Ginandjar dalam keterangan tertulis, Senin (28/3/2016).
Hingga saat ini Jepang, kata Ginandjar, merupakan investor besar di Indonesia, dan selalu menduduki peringkat atas dibandingkan negara-negara lain dalam hal besarnya kucuran investasi.
Selain itu, investasi dari Jepang telah membantu banyak kemajuan perekonomian Indonesia kata Ginandjar.
"Saya melihat Jepang cukup terlibat dalam modernisasi di Indonesia," kata Ginanjar.
Mantan Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang pertama ini menilai pembangunan ekonomi Indonesia saat ini telah memasuki era baru yang inovatif, kreatif dan berlandaskan pada ekonomi berdasarkan pengetahuan.
Namun, pada saat yang sama, sektor pertanian dan manufaktur tetap dipertahankan. Dengan langkah-langkah tersebut, Indonesia sesungguhnya mengikuti tahapan-tahapan yang pernah dilalui Jepang.
"Dalam jangka waktu dua atau tiga dekade ke depan Indonesia akan berada pada langkah yang tepat untuk menjadi negara maju seperti Jepang atau Korea," tegas Ginandjar.
Saat ini Indonesia dan Jepang, memasuki tahapan selanjutnya. Ia menekankan hubungan baru tersebut harus bertumpu pada perdagangan dan investasi, dan bukan lagi bantuan.
Hubungan tersebut dijalankan berdasarkan fondasi peningkatan mutu sumber daya manusia yang lebih tinggi, input teknologi, dan peningkatan nilai tambah.
Ginandjar juga menjelaskan Indonesia dan negara Asia lainnya dapat belajar dari Jepang karena berhasil melakukan transformasi dari negara agraris menjadi negara industri.
Menyoroti Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Ginandjar menjelaskan Jepang dapat menjadikan Indonesia sebagai jangkar utama karena besarnya pasar Indonesia dibandingkan dengan negara-negara lain di kawasan ini.
Menurut Ginandjar, MEA merupakan kawasan yang menarik secara ekonomi.
Menurutnya, di kawasan ini total penduduk di kawasan ini mencapai sekitar 620 juta jiwa, pertumbuhannya rata-rata mencapai 6 persen per tahun selama sepuluh tahun terakhir, dan besaran ekonominya mencapai 2,3 triliun dolar AS.
Jika digabungkan sebagai satu entitas ekonomi, maka MEA menduduki posisi ke tujuh dalam hal besarnya ekonomi, setelah Amerika Serikat, Tiongkok, Jepang, Jerman, Perancis, dan Inggris.
Dengan kehadiran MEA sebagai entitas ekonomi, Ginandjar mengharapkan banyak munculnya pusat-pusat ekonomi, sehingga tidak perlu bertumpu kepada satu pusat seperti masa lalu.
Dengan semakin mengecilnya hambatan perdagangan di kawasan Asia Tenggara dan Selatan semakin meningkat, dan diharapkan dapat pula mengurangi kerentanan kontraksi ekonomi seperti jika hanya bertumpu pada Amerika Serikat atau Tiongkok.
"Dengan cara ini keseimbangan pertumbuhan di tingkat regional, dengan adanya negara-negara berpendapatan menengah seperti Indonesia mampu mengurangi kesenjangan dengan negara-negara berpendapatan tinggi, akan membawa stabilitas dalam politik dan ekonomi di keseluruhan kawasan Asia-Pasifik," tegas Ginandjar.
Ginandjar juga menekankan perubahan dalam bidang ekonomi dan politik yang dihadapi Jepang saat ini. Sekarang Jepang menghadapi persoalan karena tekanan utang, deflasi, dan penduduk yang tua.
Namun demikian, Ginandjar menekankan, dilihat dari sisi per kapita dan menghitung tingkat deflasinya, pertumbuhan ekonomi Jepang tidak seburuk yang diperkirakan oleh para pengamat jika dibandingkan dengan negara-negara berpendapatan tinggi lainnya.
Ginandjar menilai saat ini ekonomi negeri Matahari Terbit ini menduduki posisi nomor tiga setelah Amerika Serikat dan Tiongkok.
Gabungan ekonomi Inggris dan Perancis, masih belum dapat melampaui Jepang.
Negeri Matahari Terbit ini masih yang terkaya di kawasan Asia, rata-rata penduduknya delapan kali lebih makmur dibandingkan dengan penduduk Tiongkok.
Ginandjar menilai Jepang dapat sukses melakukan perubahan karena bertumpu pada tradisi, etos kerja, dan karakter.
Dengan kualitas seperti itu, Jepang mampu berkompetisi dan menjadi salah satu kekuatan ekonomi di dunia.
Dia menilai Jepang dapat mengatasi masalah kurangnya tenaga kerja yang disebabkan banyaknya penduduk usia tua dengan cara memperlonggar aturan tenaga kerja dan mengizinkan tenaga kerja profesional dari negara lain, yang penduduknya masih muda seperti Indonesia, bekerja di negeri Matahari Terbit ini.
Cara ini akan menghasilan win-win solution dalam jangka panjang.