Revisi UU KPK
DPR dan Pemerintah Sepaham Terkait Revisi UU Anti Terorisme
Revisi UU Anti Terorisme menjadi agenda utama rapat gabungan antara Komisi I dengan Komisi III bersama Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Revisi UU Anti Terorisme menjadi agenda utama rapat gabungan antara Komisi I dengan Komisi III bersama Menkopolhukam Luhut Binsar Pandjaitan.
Dalam penjelasanya, Luhut mengatakan secara tegas Pemerintah akan selalu bertindak tegas dalam menghadapi aksi terorisme.
"Kami tidak ada kata negosiasi terhadap teroris. Kita sudah koordinasikan dengan BIN, TNI dan Polri, jika ada attack, kita langsung serbu. Kita tidak akan memberikan waktu kepada mereka untuk melakukan konsolidasi," tegasnya di hadapan anggota Komisi I dan III, Senin (15/2/2016).
Dalam kesempatan tersebut, Luhut juga menyatakan keprihatinannya terhadap keberadaan Densus 88. Satuan khusus anti teror ini ternyata masih minim dalam perlengkapan.
"Terus terang saya sedih melihat organisasi ini. Nama besar, tetapi fasilitas menurut saya sangat memprihatikan," tuturnya.
Tekait Revisi UU terorisme, Luhut menyampaikan harapan atas kerja sama antara Pemerintah dan DPR dalam menyelesaikan revisi UU tersebut.
"Agar DPR bisa membantu sehingga proses revisi UU semakin cepat. Karena UU ini masih jauh lebih lemah dari apa yang ada di Singapura dan Malaysia. Yang terpenting bagi kami, bagaimana bisa melakukan preventif kepada pelaku sebelum melakukan terorisme, dengan meminta keterangan dan menahan mereka selama 7 hari," jelasnya.
Menyikapi hal tersebut, anggota Komisi III Taufiqulhadi menyatakan kesepakatannya agar revisi UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindakan Pidana Terorisme, segera mendapatkan perhatian yang maksimal.
Politisi NasDem ini memandang, setidaknya ada tiga wacana yang perlu ada dalam revisi UU Anti Terorisme.
Pertama, masih singkatnya masa tahanan bagi pelaku terorisme tersebut.
Menurutnya, dengan waktu yang singkat, akan sulit bagi pihak kepolisian untuk melakukan penyelidikan terhadap keterlibatan jaringan terorisme tersebut.
"Menurut saya masa penahanan perlu ditambah menjadi 20 hari masa tahanan," ungkapnya.
Kedua, wacana pencabutan passpor bagi mereka yang terlibat ISIS di Negara-negara konflik, harus segera direalisasikan.
Ketiga, penyelidikan kasus terorisme cukup mendapatkan izin dari hakim pengadilan saja.
Selain soal aksi terorisme, rapat gabungan komisi bersama Kemenkopolhukam juga membahas soal kebijakan pemberian bebas visa dan kebijakan pemberiaan amnesti kepada kelompok separatis, seperti Organisasi Papua Merdeka (OPM) dan kelompok Din Minimi.