Ledakan Bom di Sarinah
IPW: Bom Thamrin Diduga Dilakukan Geng Solo
Polri perlu bekerja keras untuk membongkar jaringan teroris, agar serangan yang sama tidak terjadi lagi di tempat lain di ibu kota dalam waktu dekat.
Editor:
Dewi Agustina
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pasca serangan teroris di Jalan Thamrin Jakarta yang menewaskan 7 orang dan 24 orang luka, Polri perlu bekerja keras untuk membongkar jaringannya, agar serangan yang sama tidak terjadi lagi di tempat lain di ibu kota dalam waktu dekat.
Indonesian Police Watch (IPW) menilai, serangan di Thamrin adalah serangan yang gagal. Tapi menimbulkan kejutan luar biasa.
"Gagal karena lebih banyak pelaku yang menjadi korban dan masih banyak bom yang tidak terpakai. Sehingga dikhawatirkan jaringan kelompok teror ini akan mengulang kembali aksinya dalam waktu dekat. Untuk itu Polri harus segera memburu mereka agar tidak ada kesempatan mengulang aksinya," ujar Ketua Presidium Indonesian Police Watch (IPW), Neta S Pane dalam keterangannya kepada Tribunnews.com, Jumat (15/1/2016).
IPW melihat ada tiga fenomena baru dalam aksi teror di Thamrin.
Pertama, inilah pertama kali ada teroris dalam jumlah banyak melakukan serangan terbuka di beberapa tempat di ruang publik, yang disaksikan banyak orang.
"Para teroris Indonesia melakukan aksi show off force yang luar biasa, dengan mencontoh apa yang terjadi di Paris pada November 2015," ujar Neta.
Kedua, serangan teroris ini menggunakan bahan peledak seadanya tapi para teroris nekat melakukan aksinya, seakan sudah siap melakukan aksi bunuh diri bersama-sama.
Ketiga, para teroris tampak sangat tenang dalam beraksi. Tidak ada raut takut dan cemas, meski beraksi di ruang
terbuka yang disaksikan banyak orang dan wajahnya gampang dikenali.
Sepertinya jaringan ini hendak mengirim pesan bahwa kelompok mereka lebih berbahaya dari kelompok teroris sebelumnya, karena punya keberanian luar biasa untuk melakukan serangan besar di pusat kota maupun pusat keramaian.
"Melihat fenomena yang mereka tampilkan besar dugaan aksi serangan teror ini dilakukan kelompok Solo. Sebab sejak dikendalikan Sigit Qurdowi, Geng Solo merekrut banyak remaja usia 16 atau 17 tahun dan kelompok ini kerap mempertontonkan serangan terbuka, meski hanya dilakukan satu dua orang," kata Neta.
Neta mmencontohkan, tahun 2007, geng ini melakukan bom bunuh diri di masjid Polres Cirebon atau menyerang sejumlah polisi di pospam Lebaran 2012 di Solo.
Setelah Sigit tewas ditembak polisi, 2010 muncul Bahrum Naim yang saat itu berusia 23 tahun.
Saat Naim divonis PN Surakarta 2,5 tahun bermunculan simpati dari anak-anak muda kepadanya.
Begitu bebas, Februari 2015, Naim berangkat ke Suriah dan bergabung dengan ISIS.
Naim bergabung dengan Abu Jandal asal Surabaya yang sudah lebih dulu, yakni 4 Desember 2015 berada di Suriah.
"Kelompok ini banyak merekrut anak-anak muda untuk melakukan serangan kepada aparat keamanan dan kepentingan barat. Untuk itu Polri harus bekerja keras memutus jaringannya agar mereka tidak punya kesempatan melakukan serangan serupa dalam waktu dekat," imbuh Neta.