Pemerintah dan DPR Harus Keluarkan Delik Korupsi dari RUU KUHP
Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka tindak pidana korupsi akan kehilangan sifat khususnya.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA -- Keberlanjutan pembahasan Rancangan Undang-Undang Kitab Hukum Pidana (RUU KUHP) kembali menjadi dibicarakan dalam Rapat Kerja Komisi III DPR RI dengan para Mitra Kerja seperti Polri, Kejaksaan Agung, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Pada Rapat Kerja Kejaksaan Agung dengan Komisi III DPR 7 September 2015, Jaksa Agung HM Prasetyo mengingatkan Komisi III untuk memperhatikan masukan terkait delik korupsi yang dimasukkan dalam RUU KUHP. Jika delik korupsi dimasukkan dalam RUU KUHP, maka tindak pidana korupsi akan kehilangan sifat khususnya. Dengan demikian, penanganannya pun akan seperti penanganan tindak pidana pada umumnya.
Lalola Easter Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW) dalam rilisnya menyatakan, kekhawatiran tersebut bukan tanpa alasan, Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat ada 6 (enam) alasan mengapa Pemerintah dan DPR harus mengeluarkan delik korupsi dalam RUU KUHP:
1. DPR dan Pemerintah Inkonsisten. RUU Tipikor juga sudah masuk Rencana Pembahasan Program Legislasi Nasional 2014 – 2019. Jika DPR dan pemerintah tetap membahas RUU KUHP yang memuat juga delik korupsi, maka DPR dan Pemerintah telah inkonsisten dalam menjalankan rencananya sendiri.Sepatutnya pembahasan dan perbaikan UU Tipikor menjadi prioritas, dibandingkan memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP. Pengaturan delik tipikor perlu tetap dibuat di luar RUU KUHP karena sepatutnya RUU KUHP hanya mengatur tindak-tindak pidana yang bersifat umum (generic crimes). Jika ke depannya ada perkembangan modus atau bentuk tindak pidana korupsi, proses pembaharuan peraturannya akan sangat menyulitkan, manakala delik korupsi diatur dalam RUU KUHP.
2. Tindak Pidana Korupsi Tidak Lagi Jadi Kejahatan Luar Biasa. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, memasukkan delik korupsi ke dalam RUU KUHP, akan menghilangkan sifat “kejahatan luar biasa”-nya menjadi kejahatan biasa. Hal ini juga berimplikasi pada kerja lembaga-lembaga independen yang kewenangannya diatur dalam UU khusus yang diatur di luar RUU KUHP.Dengan dimasukkannya delik korupsi dalam RUU KUHP, maka penanganan perkara korupsi juga akan serupa dengan penanganan perkara pidana biasa. Kewenangan-kewenangan dan penanganan luar biasa sebagaimana yang kini dimiliki oleh KPK, tidak dapat lagi diterapkan. Artinya, yang menjadi dasar kewenangan penindakan tindak pidana korupsi dalam RUU KUHP akan diatur pula secara umum dalam RUU KUHAP.
3. Beberapa Lembaga Negara akan Kehilangan Kewenangan.Implikasi dari banyaknya delik khusus yang diatur dalam RUU KUHP, menjadikan proses hukum dan kewenangan lembaga-lembaga terkait yang diatur dalam RUU KUHAP, juga mengikat bagi lembaga-lembaga independen yang kewenangannya kini diatur dalam Undang-Undang khusus.Mengunfikasi dan mengkodifikasi seluruh peraturan pidana ke dalam RUU KUHP akan memakan waktu yang sangat lama. Selain itu, tidak mungkin mengecualikan kewenangan-kewenangan, kerja lembaga-lembaga terkait (mis: BNN – Narkotika; PPATK – Transaksi keuangan mencurigakan; KPK – Korupsi), dan modus tindak pidana secara lebih detil di dalam RUU KUHP dan RUU KUHAP, manakala Pasal Peralihan RUU KUHP masih mengasumsikan adanya kodifikasi dan unifikasi seluruh peraturan pidana nasional.
4. KPK Hanya Memiliki Fungsi Pencegahan Korupsi. Pengaturan delik korupsi dalam RUU KUHP akan mengebiri kewenangan KPK, karena fungsi-fungsi penindakan yang dulu dimiliki KPK seperti penyidikan dan penuntutan, akan “dikembalikan” ke Polri dan Kejaksaan. Mandat KPK diatur secara jelas dalam UU Tipikor dan UU KPK, dan secara spesifik menyebutkan bahwa KPK berwenang menindak tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU Tipikor.Delik Korupsi yang “hijrah” ke RUU KUHP tidak secara otomatis membuat KPK tetap berwenang menangani perkara korupsi. Sebagaimana disebutkan dalam 779 dan Pasal 780 RUU KUHP, sejak RUU KUHP diberlakukan, seluruh tindak pidana yang diatur dalam peraturan di luar RUU KUHP akan menjadi bagian RUU KUHP.Artinya, setiapb Undang-Undang pidana yang muncul kemudian, akan menjadi bagian tidak terlepas dari RUU KUHP, selama hal tersebut tidak diatur dalam RUU KUHP. Jika sudah ada pengaturannya dalam RUU KUHP, maka pasal pidana dalam RUU KUHP lah yang akan digunakan sebagai dasar.
5. Kejaksaan Hanya Berwenang Menuntut Tipikor, tidak dapat lagi menyidik perkara korupsi. Bukan saja lembaga-lembaga independen seperti BNN, PPATK, atau KPK, yang potensial kehilangan kewenangannya. Kejaksaan pun akan kehilangan kewenangannya melakukan penyidikan tindak pidana korupsi jika RUU KUHP ini disahkan. Mengapa demikian? Karena kewenangan Kejaksaan menyidik perkara korupsi –sebagaimana diatur dalam Pasal 16 UU Kejaksaan- hanya atas delik korupsi yang diatur dalam UU Tipikor, dan bukan atas delik tipikor yang diatur dalam peraturan hukum lain.
6. Penyidikan Tipikor Dimonopoli Polri. Berbeda dengan Kejaksaan, kewenangan penyidikan Polri terhadap delik korupsi tidak terbatas pada UU Tipikor, sehingga Polri tetap dapat melakukan penyidikan terhadap delik korupsi meskipun delik tersebut diatur di luar UU Tipikor.
Berdasarkan alasan-alasan di atas, kami meminta DPR dan Pemerinah agar:
1. Mengeluarkan delik korupsi dan delik-delik lain yang termasuk dalam tindak pidana luar biasa, dari RUU KUHP;
2. Membahas RUU KUHP secara transparan dan akuntabel dengan melibatkan pihak-pihak terkait yang berkepentingan;
3. Mempercepat pembahasan RUU Tipikor yang memperkuat upaya pemberantasan korupsi dan kewenangan KPK;