Advertorial
Jumlah Perokok Terus Bertambah, Negara Bangkrut
Merokok bukan saja merugikan dari segi kesehatan. Data terbaru Kementerian Kesehatan menyatakan, pengeluaran negara akibat rokok cukup besar.
TRIBUNNEWS.COM - Berkurangnya jumlah perusahaan rokok beserta produksinya dinilai sebagai sebuah keberhasilan pemerintah dalam menekan Industri Hasil Tembakau (IHT). Namun, hal tersebut bukan membuat jumlah perokok berkurang. Faktanya, jumlah perokok terutama dari golongan muda terus bertambah.
Hal tersebut bisa jadi terjadi karena rokok dianggap sebagai salah satu pelengkap life style dan mode. Apalagi dengan didukung sebagian besar iklan rokok pada billboard dan media elektronik di televisi serta radio. Hal tersebut mampu memikat generasi muda.
Ini membuat anak muda yang belum berpikiran panjang ikut-ikutan untuk merokok, biar dikatakan gaul dan keren, padahal di masa yang akan datang hal tersebut akan dibayar mahal dari segi kesehatan dan ekonomi.
Mirisnya, selain para pria dan usia muda, jumlah perokok wanita muda meroket tajam. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013 mencatat, proporsi perokok pemula (10-14 tahun) mengalami kenaikan pesat dari 2010-2013 sebesar 6,2 persen. Sedangkan usia 15-19 tahun khususnya perempuan perokok meningkat 10 kali lipat.
Pada 2013 saja, diperkirakan 6,3 juta wanita Indonesia yang merokok dikaitkan dengan risiko melahirkan anak dengan bayi berat lahir rendah (BLBR), serta berbagai risiko penyakit lain saat dewasa.
Menteri Kesehatan RI Prof. Dr. dr. Nila F. Moeloek menegaskan, kita harus menyelamatkan generasi muda dari bahaya tembakau atau rokok. Hal tersebut diungkapkan Menkes ketika menghadiri Youth Forum 2nd Indonesian Conference on Tobacco or Health (ICTOH) 2015 di Hotel Kartika Chandra, Jakarta, Kamis (28/5/2015).
"Kita harus menyelamatkan generasi muda, karena jumlah perokok di usia muda terus meningkat tajam," katanya.
Berdasarkan data Kementerian Kesehatan, merokok menjadi salah satu faktor risiko Penyakit Tidak Menular (PTM). Proporsi kematian akibat penyakit tidak menular di Indonesia meningkat dari 50,7 persen di 2004 menjadi 71 persen di 2014.
Empat dari lima penyebab kematian tertinggi pada 2014 yaitu stroke, kardiovaskular, diabetes, dan hipertensi. Penyakit Tidak Menular (PTM) tersebut merupakan salah satu penyebab beban ekonomi terbesar.
"PTM menyebabkan beban ekonomi sebesar US$4,47 triliun atau sekitar US$17.863 per kapita pada 2012-2030," tambah Menkes.
Hal senada juga diungkapkan juga dr. Kartono Muhammad selaku Ketua Dewan Pembina Komisi Nasional Pengendalian Tembakau. Ia menyatakan, semua fakta, bukti, dan data jelas-jelas menunjukkan kerugian tembakau dari berbagai aspek, baik kesehatan, sosial, maupun ekonomi.
Akibat rokok, pengeluaran makro negara lebih besar dibanding cukai yang diperoleh. Tercatat, negara mengeluarkan sebesar Rp. 254,41 triliun per tahun, sementara pendapatan negara dari cukai hanya Rp. 55 triliun.
"Lihat saja, dana BPJS akan habis bila jumlah perokok tidak diturunkan," ujar dr. Kartono di tempat yang sama.
ICTOH 2015 ini sendiri mengambil tema “Save Young Generation, Save the Nation”. Acara tersebut mempertemukan berbagai pihak yang peduli pada upaya pengendalian tembakau di Indonesia agar menuju generasi muda bebas tembakau.
Kegiatan tersebut diikuti kalangan pemerintah, akademisi, organisasi profesi, organisasi kemasyarakatan, peneliti, mahasiswa, media dan masyarakat umum, guna mengkaji berbagai isu seputar pengendalian tembakau secara komprehensif sebagai upaya investasi jangka panjang di berbagai bidang.
Acara ini dihadiri sekitar dua ratus peserta dari berbagai kelompok kepemudaan. Acara ditutup dengan dibuatnya surat terbuka para pemuda yang ditujukan pada Presiden Joko Widodo.
Mereka mendesak pemerintah segera meratifikasi Konvensi Kerangka Kerja Pengendalian Tembakau atau Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Berita dan info kesehatan lainnya dapat dilihat di laman www.depkes.go.id dan www.sehatnegeriku.com. (advertorial)