Kabinet Jokowi Jk
Tiga 'Kartu Sakti' Jadi Pendongkrak Utama Popularitas Jokowi Sepanjang Enam Bulan Berkuasa
Sejumlah program kesejahteraan sosial jadi tulang punggung tertahannya persepsi positif publik atas rezim pemerintahan ini.
TRIBUNNEWS.COM - Sejumlah program kesejahteraan sosial pemerintah tampak menjadi tulang punggung tertahannya persepsi positif publik atas rezim pemerintahan ini.
Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Program Simpanan Keluarga Sejahtera, Program Indonesia Pintar, dan Program Indonesia Sehat yang melahirkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) terbukti manjur.
Kesuksesan pelaksanaan program tiga "kartu sakti" ini menjadi tumpuan popularitas pemerintahan saat ini. Tidak salah jika program "kartu sakti" yang bersentuhan langsung dengan kehidupan rakyat menjadi wajah terdepan kehadiran negara dalam menjamin kelangsungan pendidikan dan jaminan kesehatan masyarakat. Mayoritas publik merasakan kehadiran negara dalam perspektif jaminan kesehatan dan pendidikan.
Tengok saja dalam hal kesehatan. Kini, ada kemudahan akses bagi warga miskin untuk mendapatkan layanan kesehatan dengan program Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
Program ini langsung populer di masyarakat karena memberikan jalan keluar atas persoalan biaya berobat bagi masyarakat, khususnya dari kalangan bawah. Data BPJS, 4.426.000 lembar KIS sudah terdistribusi bersamaan dengan KIP dan KKS hingga akhir 2014. Pada 2015, KIS yang didistribusikan direncanakan hingga 82 juta kartu.
Akses terhadap pelayanan pendidikan pun gencar dilakukan, salah satunya Program Keluarga Harapan yang digagas Kementerian Sosial. Program ini direncanakan menjamin subsidi pendidikan anak dari keluarga tidak mampu hingga lulus SMA/SMK/MA. Sebelumnya, program subsidi ini hanya menjamin anak keluarga miskin sampai lulus SMP.
Namun, ada kecenderungan layanan kesehatan dan pendidikan yang terjangkau belum mencakup seluruh wilayah Tanah Air. Sejumlah responden survei ini, terutama di wilayah Papua dan Maluku, cenderung belum mengapresiasi pelayanan kesehatan dan pendidikan karena memang belum merasakan perbedaannya.
Alfrina Tukayo (38), seorang responden di Desa Yoka, Distrik Heram, Jayapura, Papua, misalnya, mengeluhkan kondisi lapangan yang berbeda dengan sosialisasi terkait KIS, KIP, dan KKS. "Masih ada biaya untuk administrasi, padahal semestinya gratis," kata ibu tiga anak ini.
Hal yang sama terjadi pada penilaian terhadap kinerja pemerintah dalam melaksanakan wajib belajar 12 tahun di Papua. Terlepas dari kendala infrastruktur dan sumber daya manusia Papua, persepsi publik di Indonesia timur cenderung skeptis. Hampir separuh responden di Papua dan Maluku menyatakan tidak puas terhadap kinerja bidang kesos. (Yohan Wahyu)