Petani Adat Harus Dilindungi Jangan Dikriminalisasi
Sampai sekarang masih terjadi kriminalisasi terhadap tanah rakyat termasuk tanah adat.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sampai sekarang masih terjadi kriminalisasi terhadap tanah rakyat termasuk tanah adat. Rakyat yang mengelola tanah adat puluhan tahun dan sudah berlangsung secara turun-temurun harus menjadi korban kriminalisasi karena dituduh melanggar Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA).
“Petani dan pengelola tanah adat selama ini justru yang melindungi konservasi hutan, tidak merusak hutan lindung dan sebagainya. Penelitian dunia pun membuktikan di Amerika Latin, Afrika dan Asia, bahwa masyarakat adat itu yang mampu melindungi dan melestarikan hutan,” ujar Ketua FPKB DPR RI Helmy Faishal Zaeni ketika membuka diskusi publik, ‘Meneguhkan mandat konstitusi tanah untuk rakyat’ bersama Wakil Ketua Komisi II DPR RI Lukman Edy, Sekjen Persatuan Tani Indonesia Muhammad Nurdin, dan mantan ketua Panja Pertanahan Komisi II DPR RI Hakam Naja, di Gedung DPR RI Jakarta, Rabu (25/3/2015).
Helmy Faishal mengatakan, kita jangan mengulangi kesalahan berulang-ulang terhadap petani adat, melainkan harus melindungi.
“Diskusi ini diharapkan bisa mengurai masalah secara komprehensif dan tidak sekadar bicara tanpa tindak lanjut yang konkret yang bermanfaat bagi rakyat. FPKB DPR RI harus mengawal ini sampai menjadi UU Pertanahan yang melindungi rakyat,” ujarnya.
Meneguhkan konstitusi untuk tanah rakyat ini menurut Lukman Edy, sebagai rekomendasi Rakernas PKB di Lombok, NTB pada akhir Februari 2015 lalu. Hal ini sejalan dengan TAP MPR RI 1998 untuk melakukan reformasi agraria melaui UU Pertanahan, yang sampai saat ini belum terbentuk.
"Komisi II DPR RI memastikan pembahasan dan penuntasan RUU Pertanahan ini menjadi UU pada tahun 2015 ini. Komisi II DPR pun sudah membentuk Panja tanah,” ujarnya.
Namun demikian lanjut anggota DPR RI dari Dapil Riau itu, membahas RUU ini tidak boleh menghapus UU PA. Sebab, menghapus UU PA itu bisa menimbulkan konflik yang luar biasa.
Menurut Lukman, ada 9 substansi soal tanah di Indonesia. Yaitu, pertama, meliputi masalah tumpang-tindihnya kepemilikan tanah yang terjadi di seluruh Indonesia dan berpotensi terjadi konflik horizontal dan vertikal. Kedua, masalah tanah terlantar.
Ketiga, masalah kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan lahan. Keempat, masalah database tentang pemanfaatan lahan dan penggunaan ruang.
Kelima, masalah kesulitan mengurus sertifikat tanah. Keenam, masalah sumber daya, sarana, dan prasarana. Ketujuh, masalah pengakuan atas tanah adat atau tanah ulayat.
Kedelapan, masalah ganti rugi tanah, dan kesembilan, masalah pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta kesesuaian UU Pemerintah Daerah dengan UU Sektoral.