Calon Kapolri
Jokowi Diminta Jelaskan ke DPR Alasan Tak Melantik Budi Gunawan
"Kami berkeinginan supaya proses yang dilakukan Jokowi soal masalah Kapolri ini jangan sampai melanggar Undang-undang," ujar Edwin.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Polemik calon Kapolri masih belum berakhir. Presiden Joko Widodo harus bisa menjelaskan kepada partai politik pendukung dan DPR jika tak melanggar Undang-undang dalam urusan Kapolri ini.
Terutama soal alasan tak melantik Komjen Budi Gunawan yang sudah disetujui DPR dan kemudian mengusulkan Komjen Badrodin Haiti sebagai Kapolri.
"Kami berkeinginan supaya proses yang dilakukan Jokowi soal masalah Kapolri ini jangan sampai melanggar Undang-undang," ujar Presidium Penasehat Gerakan Trisakti Nusantara, Edwin Henawan Sukowati, Minggu (1/3/2015) saat diskusi publik bertajuk "Polemik Pengangkatan Kapolri dan Krisis Konstitusi", di Jakarta.
Hadir dalam diskusi yang dimoderatori Riano Oscha dari GTN, itu adalah Pengamat Tata Negara Irman Putra Sidin, Pengamat Komunikasi Politik Emrus Sihombing, dan Pengamat Hukum yang juga Presidium GTN Marihot Siahaan.
Edwin mengatakan, presiden masih harus meyakinkan kepada parpol pendukung dan DPR soal Kapolri itu, supaya tidak terjadi polemik antara presiden dan parlemen.
"Presiden harus meyakinkan bahwa apa yang dilakukan itu memang betul-betul demi persatuan dan kesatuan bangsa," papar Edwin.
Bahkan, dia mengingatkan, jangan sampai kasus pemilihan Kapolri di era Presiden RI keempat Abdurrahman Wahid terulang lagi dan menimpa Jokowi.
"Kita tidak ingin Jokowi sampai lengser karena urusan Kapolri seperti yang terjadi di masa Gus Dur dulu," ungkap Edwin lagi.
Dia pun mengingatkan Jokowi bahwa sakit hati Koalisi Merah Putih yang mengusung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan kalah di pemilihan presiden masih ada. Apalagi, lanjut Edwin, pilpres baru enam bulan berlalu sehingga rasa sakit hati itu masih belum selesai.
Karenanya, kata dia, Jokowi jangan sampai terjebak dalam permainan politik. "Jangan sampai aspirasi rakyat yang besar memenangkan Jokowi ditelikung," tuntas Edwin.
Marihot menambahkan, pengajuan Badrodin sebagai calon Kapolri ke DPR menambah masalah saja. Sebab, persoalan BG yang sudah disetujui DPR belum selesai, tapi Jokowi malah mengajukan lagi nama Kapolri. "Bagaimana kalau tidak disetujui? Tentu menambah masalah juga. Kalau disetujui pun menambah masalah. Ada dua kapolri berarti?" kata Marihot.
Dia pun berpendapat harusnya presiden menjalankan konstitusi dengan melantik Komjen BG yang sudah disetujui DPR sebagai Kapolri. Menurut dia, hak-hak Komjen BG harus dipenuhi oleh Presiden. "Kalau menurut saya tetap harus dilantik," tegasnya.
Irman menegaskan, alasan Presiden membatalkan pelantikan Komjen BG sebagai Kapolri karena adanya perbedaan pendapat, tidak tepat.
Sebab, kata Irman, semua keputusan di sebuah negara demokrasi tentu akan menimbulkan perbedaan pendapat di dalamnya.
"Kenapa alasan membatalkan hanya perbedaan pendapat?" Ini yang seharusnya dipertanyakan," kata Irman.
Ia menambahkan, DPR tentunya nanti akan mempertanyakan alasan tidak melantik BG karena adanya perbedaan pendapat tersebut. Presiden pun harus memberikan alasan yang bisa dipertanggungjawabkan. "Ada alasan yang harus bisa dipertanggungjawabkan di parlemen," tegasnya.
Dia mengatakan, dari awal proses pemilihan Kapolri sudah terpenuhi secara konstitusi. Presiden dengan masukan Komisi Kepolisian Nasional mengusulkan kepada DPR. Kemudian, DPR menyetujui. Nah, setelah DPR menyetujui maka Presiden pun harus melaksanakan persetujuan itu. "Tentunya presiden harus mengeksekusi," katanya.
Menurut Irman, kalaupun Presiden ada perbedaan selera soal Kapolri, itu tidak jadi masalah. Namun, mekanisme sesuai konstitusi jangan sampai terputus. "Berhentikan yang lama tapi ajukan lagi (nama baru)," tegasnya.
Dia menegaskan, tentu sepakat tidak memberikan ruang kepada presiden atas dasar rasional politik apapun untuk tidak menjalankan Undang-undang. "Ini puncak kehormatan kita sebagai berbangsa dan bernegara," pungkasnya.
Pengamat komunikasi politik, Emrus Sihombing dalam kesempatan itu menegaskan, penentuan Kapolri merupakan pertarungan politik.
Namun demikian, Emrus mengingatkan Jokowi harus tetap merujuk kepada konstitusi.
Merus menilai secara kasat mata ada dua hal yang membuat Presiden Joko Widodo saat ini terindikasi terjerumus. Pertama, Emrus menyebut soal kenaikan harga Bahan Bakar Minyak pascabeberapa saat dilantik sebagai Presiden.
Menurut Emrus, saat itu sudah banyak yang mengatakan termasuk para pakar supaya BBM tidak dinaikkan. Salah satu alasannya tren minyak dunia akan terus mengalami penurunan. Namun, pemerintah tetap menaikkan BBM.
Meskipun pada akhirnya diturunkan lagi, harga barang-barang lain seperti sembilan bahan bokok yang ikut naik seiring kenaikan BBM sudah tak bisa diturunkan lagi. "Tapi BBM tetap dipaksakan naik, akibatnya rakyat menderita," tegasnya.
"Kalau Jokowi yang merumuskan atau membuat keputusan itu, berarti Jokowi tidak berpikir tentang kerakyatan dan Nawa Cita. Tapi, kalau itu dirumuskan oleh tim-nya, ada agenda politik apa di balik itu?" tanya pengajar di Universitas Pelita Harapan dan Universita Mercu Buana ini.
Karenanya, dia pun menegaskan, sudah saatnya Menteri ESDM Sudirman Said mundur karena kenaikan harga BBM ini. "Harusnya malu dong, tidak berpikir matang dalam mengambil keputusan. Baru dinaikkan sudah diturunkan lagi. Tapi, akibatnya rakyat yang harus menanggung beban kenaikan harga-harga barang lainnya," kata dia.
Soal kedua, kata dia, terkait pencalonan Kapolri. Emrus berpandangan, pengajuan Komjen Badrodin sebagai calon Kapolri itu sama saja membatalkan pelantikan Komjen BG yang sudah disetujui DPR.
Meskipun, kata dia, pembatalan Komjen BG tidak diucapkan langsung oleh Jokowi. "Tapi, dalam komunikasi itu namanya makna denotatif. Dengan pernyataan mencalonkan Haiti sebagai Kapolri, artinya Presiden ingin menyatakan pelantikan Budi Gunawan saya batalkan," kata Emrus.
Nah, sikap Jokowi ini dianggapnya sebagai sebuah inkonsistensi. Sebab, sebelumnya Presiden hanya menyatakan bahwa pelantikan BG ditunda, bukan dibatalkan. "Ini inkonsistensi. Kalau inkonsistensi sangat berbahaya. Dia yang mengajukan, dia yang tak melantik. Terkecuali bukan dia yang mengajukan," kata Emrus.
Ia melanjutkan, kalau memang BG dikatakan punya kelemahan, berarti tim-tim yang berada di sekitar Presiden telah lemah menganalisis dan menelusuri rekam jejak yang bersangkutan. "Kalau tidak tahu data tentang BG sebelumnya, berarti timnya presiden itu lemah," katanya.
Dia mengatakan, tidak mengangkat BG sebagai Kapolri sama maknanya tim kepresidenan lemah melakukan seleksi. "Makanya, kalau saya berpendapat Budi Gunawan tetap dilantik, karena ini lebih aman bagi Jokowi," katanya.
Barulah nanti, Emrus melanjutkan, terserah kembali kepada Jokowi soal apakah akan menonaktifkan BG setelah melantik.
Kalau tidak melantik, ia menambahkan, artinya Jokowi mencederai konstitusi. "Tidak menghargai legislatif sebagai lembaga yang diakui negara untuk memproses usulan Presiden," tegasnya.