Kabinet Jokowi JK
Kinerja Menteri Susi Banjir Pujian, Seberapa Membaik Penghasilan Nelayan? Ini Jawabannya
Sejak diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti menuai banyak perhatian publik. Benarkah kerjanya cemerlang?
TRIBUNNEWS.COM -Sejak diangkat menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, kiprah Susi Pudjiastuti menuai banyak perhatian publik.
Yang terakhir, ia menjadi salah satu menteri dengan kinerja terbaik dalam 100 hari pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Namun, akankah kesejahteraan nelayan kecil dan nelayan buruh membaik?
Masih terlalu dini untuk menilai apakah berbagai kebijakan baru yang dijalankan saat ini akan efektif dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan gurem.
Yang bisa dilihat baru sebatas potensi perubahan yang didorong oleh intervensi kebijakan pemerintah. Salah satunya, larangan penggunaan alat tangkap pukat harimau, tarik dan hela, melalui Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 2 Tahun 2015.
Berkat kebijakan ini, hasil tangkapan sejumlah nelayan tradisional mulai meningkat. Misalnya, yang dialami nelayan-nelayan kecil di Labuhan Deli, Sumatera Utara. Sekali melaut dengan perahu berukuran kecil, mereka bisa membawa pulang ratusan kilogram cumi-cumi, udang kelong, ikan kakap dan kerapu, serta lainnya (Kompas.com, 14/2).
Produksi perikanan tangkap di Sumatera Utara ditengarai dalam fase menurun. Indikasinya terlihat dari data Badan Pusat Statistik (BPS) yang mencatat hasil perikanan tangkap di wilayah ini turun 7.800 ton (1,4 persen) pada 2013.
Jika dibandingkan dengan provinsi lain, Sumatera Utara bukan yang terburuk. Pada periode yang sama, tercatat ada tiga provinsi yang produksi perikanan tangkapnya turun lebih dari 10.000 ton. Ketiga provinsi itu ialah Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, dan DKI Jakarta. Akumulasi penurunan produksi tiga provinsi itu 63.000 ton.
Sebenarnya, produksi perikanan tangkap selama beberapa tahun terakhir cenderung meningkat. Dalam kurun tahun 2009-2013, produksi perikanan meningkat rata-rata 5,6 persen setiap tahun. Penurunan produksi di sejumlah daerah dapat dikompensasi oleh peningkatan di daerah lain. Dengan begitu, produksi perikanan tangkap nasional tetap tumbuh stabil.
Kesejahteraan nelayan
Produktivitas menjadi prasyarat peningkatan kesejahteraan nelayan. Akan tetapi, hal itu tidak otomatis mendongkrak kesejahteraan nelayan. Data statistik menunjukkan, meski produktivitas perikanan tangkap nasional meningkat, nilai tukar nelayan (NTN) justru turun dalam beberapa tahun terakhir.
Setelah mencapai puncak dengan nilai 106,24 pada 2011, NTN, sebagai salah satu indikator kesejahteraan nelayan, kembali turun hingga 105,27 tahun 2013. Hal ini membuktikan peningkatan produksi tidak selalu berkorelasi positif dengan kesejahteraan nelayan.
Salah satu faktor penunjang kesejahteraan nelayan ialah bagaimana mereka bisa ”menangkap” surplus usaha dari kegiatan ini. Berdasarkan data Input-Output BPS proyeksi tahun 2008, surplus usaha sektor perikanan mencapai 76,6 persen. Surplus usaha ini merupakan nilai dari kegiatan ekonomi di sektor tertentu yang dialokasikan untuk pemilik usaha.
Jika dibandingkan dengan rata-rata surplus usaha keseluruhan sektor sebesar 58,7 persen, pemilik usaha di sektor perikanan menikmati hasil yang tergolong besar.
Dengan nilai produk domestik bruto (PDB) sektor perikanan pada 2013 sebesar Rp 291,8 triliun, para pemilik usaha di sektor ini mendapat bagian lebih dari tiga perempatnya. Sementara nelayan buruh atau pekerja hanya memperoleh kurang dari seperlimanya.
Kondisi tersebut menunjukkan bahwa dominasi pemilik usaha di sektor perikanan masih sangat kuat, terutama dalam hal pembagian keuntungan dari usaha perikanan. Sebaliknya, kelompok buruh di sektor ini hanya memperoleh bagian yang relatif kecil. Selain tidak menyejahterakan nelayan buruh, dominasi membuat sektor ini bergantung pada pemodal besar.
Di sisi lain, rasio pajak tak langsung sektor perikanan juga tergolong rendah. Berdasarkan data input-output tersebut, pajak tak langsung sektor ini hanya 1,21 persen. Angka ini tidak mencapai separuh dari rata-rata pajak tak langsung seluruh sektor, yang mencapai 3,84 persen.