Senin, 6 Oktober 2025

FSGI: Masih Ada Sekolah yang Memaksa Terapkan Kurikulum 2013

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno listyarti mengaku pihaknya banyak menerima laporan terkait pemaksaan tersebut.

Editor: Rendy Sadikin
Warta Kota/Henry Lopulalan
Romo Benny Susetyo, Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Retno Listyarti, dan Federasi Guru Independen Indonesia (FGII) Guntur Ismali. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Meski pemerintah sudah mengeluarkan kebijakan soal penghentian pelaksanaan kurikulum 2013 untuk sebagian besar sekolah di Indonesia, masih ada sekolah yang dipaksa menerapkan kurikulum tersebut.

Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno listyarti mengaku pihaknya banyak menerima laporan terkait pemaksaan tersebut.

Retno dalam pemaparannya di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (4/1/2014), mengatakan laporan terbanyak diterima di Jawa Timur, antara lain di Bojonegoro, Lamongan, Gresik, Sidoarjo dan Surabaya.

Selanjutnya Jawa Tengah di Kebumen, Banyumas dan Magelang, lalu Banten di Tangerang Selatan, Kota Tangerang dan Pandeglang serta di DKI Jakarta.

"Kita juga menerima laporan dari Jawa Barat, di Garut, Tasikmalaya, Bekasi, Bogor dan Bandung, lalu juga ada dari Jogyakarta, di Kulonprogo, Bantul dan kota Jogya. Ada juga dari Kalimantan Utara, Kalimantan Timur, Nias, kota Medan, Bengkulu Sumatera Selatan, Batam, Riau, Nusa Tenggara Barat dan Lampung," katanya.

Modus pemaksaan itu kata dia antara lain melalui surat edaran yang ditandatangani Dinas Pendidikan, maupun Kepala Dinas Pemuda dan Olah Raga.

Laporan yang masuk kata Retno juga termasuk pengumpulan kepala sekolah untuk diberikan arahan mengenai kurikulum 2013, hingga instruksi kepada para guru untuk membuat surat pernyataan tertulis.

"Para guru diminta untuk membuat surat pernyataan tertulis, untuk menyatakan bahwa tidak ada kendala di lapangan," jelasnya.

Di beberapa wilayah pemaksaan untuk tetap menerapkan kurikulum 2013 justru berasal dari kepala sekolah masing-masing. Alasannya adalah agar bisa memenuhi 24 jam beban tatap muka, karena sarana prasaranannya memadai.

"Ada juga yang diduga melibatkan oknum percetakan buku, dengan cara membagikan uang Rp135 ribu," kata Retno.

Di beberapa tempat bahkan dibangun opini guru yang tidak menerima kurikulum 2013 adalah guru pemalas dan menolak perubahan. Padahal menurut Rento kondisi di lapangan tidak memungkinkan agar kurikulum tersebut dapat diterapkan.

"Jika para pengambil kebijakan di daerah tetap memaksa menerapkan, bisa dikatakan sekolah melakukan pelanggaran. Peserta didik juga terancam tidak dapat ijazah karena kurikulumnya berbeda," tandasnya.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved