Selasa, 7 Oktober 2025

Revolusi Mental Jokowi Dinilai Perlu Belajar dari Jepang

"Satu yang inspiratif dan mendapat tone positif adalah gagasan ide Revolusi Mental," kata Dody.

Editor: Hasanudin Aco
Warta Kota/henry lopulalan
Presiden Republik Indonesia terpilih Joko Widodo bersama Pendiri dan CEO Facebook Mark Zuckerberg blusukan ke Pasar Tanahabang, Pasar Tanah Abang, Jakarta Pusat, Senin (13/10/2014). Blusukan yang inisiatif Mark ini membuat pasar tektil ini menjadi gempar. (Warta Kota/Henry Lopulalan) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kebutuhan mempercepat hasil pembangunan dinikmati orang banyak untuk jangka waktu yang lama adalah harapan semua warga bangsa.

Semua strategi kebijakan bernorma ekonomi, politik, sosial budaya, pertahanan dan keamanan didorong untuk mengkreasi potensi domestik menjadi kekuatan determinan yang signifikan.

Demikian dikemukakan Dody Susanto, Direktur Klinik Pancasila, dalam keterangannya, Rabu (15/10/2014).

"Sehingga berganti-ganti kebijakan untuk merespon situasi dan tantangan agar berdaya dan berhasil guna untuk warga bangsa lazim dilakukan oleh sebuah pemerintahan atas mandat rakyat," katanya.

Menurut Dody, dari kontestasi demokrasi pilpres 2014, bangsa Indonesia memperoleh pemerintahan baru dengan duet Jokowi-JK.

"Satu yang inspiratif dan mendapat tone positif adalah gagasan ide Revolusi Mental," katanya.

Dody menegaskan banyak cara untuk memulai Revolusi Mental, salah satu diantaranya belajar dari negara negara sahabat, Jepang.

"Jepang adalah satu negara yang sukses membangun kekuatan mental dengan meramu respek dan penghormatan atas budaya otentik bangsanya. Dalam membangun kedaulatan pangan dan pertanian, bangsa Jepang memulainya dari mindset dan budaya bukan dengan pendekatan teknis pasar atau kebijakan semata," ujarnya.

Toyota didirikan pada tahun 1937 oleh Kiichiro Toyoda.
Namun bukan merk Toyoda yang dipatenkan melainkan "Toyota".

Logo awal  Toyota berbentuk huruf Kanji dengan 8 goresan(stroke)  yang dipercaya mengandung unsur keberuntungan, namun Toyota juga sebenarnya mengandung makna "Lahan Padi yang Subur" atau "Sawah yang Subur ".

"Begitu mengakarnya kedalaman filosofi bangsa jepang untuk melahirkan industri mobil kelas dunia sekalipun menggunakan basis pemuliaan pangan dan pertanian," ujarnya.

Dikatakan ketaatan pada konservasi lahan, penjagaan konversi lahan yang ketat membuat mindset dan budaya yang menginspirasi sektor sektor lain beranjak dengan akar filosofi yang kuat.

"Kita punya Pancasila sebagai jati diri bangsa namun kita belum bersungguh-sungguh menjadikannya inspirasi dalam membangun kedaulatan pangan. Kita minus respek terhadap hal-hal bermotif pangan dan pertanian," ujarnya.

"Kita malah sering mengembangkan konotasi negatif tentang produk-produk pangan kita bahkan oleh para pengambil kebijakan.

Kalimat otak udang, koruptor kelas kakap, penjahat kelas teri, bangsa singkong, licin bagai belut, adu domba, kambing hitam, mental tempe adalah sederetan diksi diksi nir respek yang tidak membangun mindset dan budaya memuliakan produk pangan dan pertanian yang notabene ciptaan Tuhan," Dody menambahkan.

Halaman
12
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved