Pengamat: Kepemimpinan Sistem Presidensial Bisa Hadapi Kegaduhan Politik
Ari nilai kegaduhan politik yang terjadi dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR merupakan proses yang wajar dalam sistem pemerintahan demokratis.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pengamat politik dari UGM, Ari Dwipayana, menilai kegaduhan politik yang terjadi dalam proses pemilihan pimpinan DPR dan MPR merupakan proses yang wajar dalam sistem pemerintahan demokratis.
Begitu pula dengan kosekuensi dari proses politik itu yang akhirnya membentuk pemerintahan yang terbelah (devided government) antara kekuatan politik yang menguasai parlemen dengan kekuatan politik yang menguasai eksekutif.
"Itu tidak perlu terlalu dikawatirkan. Mengapa? Pertama, dalam konstitusi RI, terutama pasca amandemen, kekuasaan Presiden diperkuat. Dalam sistem presidensialisial, Presiden adalah single chief of executive sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara," kata Ari, Kamis (9/10/2014).
Berdasarkan pasal 4 UUD RI , Presiden memegang kekuasaan pemerintahan berdasarkan UUD. Selain itu, Presiden juga memegang kekuasaan dalam membentuk UU, dimana setiap UU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapatkan pesertujuan bersama (pasal 20 ayat 2 UUD RI).
"Jika UU itu tidak mendapatkan persetujuan bersama, RUU itu boleh diajukan lagi dalam persidangan DPR masa itu (pasal 20 ayat 3 UUD RI). Dengan demikian, perbedaan konstelasi politik antara legislatif dengan eksekutif harus dipandang sebagai bagian dari bekerjanya check and balances dalam sistem pemerintahan yang demokratis," ujarnya.
Kedua, sejak tahun 2004, Presiden bukan lagi mandataris MPR, tapi Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dalam Pemilu.
Itu artinya Presiden mendapatkan mandat elektoral langsung dari rakyat untuk menjalankan pemerintahannya. Dengan mandat elektoral 52,3 % dalam pemilu Presiden 2014, Presiden terpilih tidak bisa begitu saja di-makzulkan oleh DPR, karena harus memenuhi pasal 7A dan dan 7B UUD RI dan usul pemberhentian Presiden harus diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
"Dengan demikian, upaya memakzulkan Presiden tidak semudah dibayangkan, karena harus melewati proses politik dan hukum yang panjang," ungkapnya.
Dengan dua alasan itu, menurut Ari, maka kekawatiran banyak kalangan termasuk para analisis yang menyebutkan akan terjadinya gridlock dalam pemerintahan yang selanjutnya akan berujung pada democracy breakdown akan sulit menemukan kenyataannya.
Dalam menghadapi kegaduhan politik ini, ada beberapa titik harapan atau rasa optimisme yang terbentuk melihat gaya kepemimpinan yang ditawarkan oleh Presiden terpilih.
Dalam berbagai kesempatan, Presiden terpilih menyatakan dengan jelas akan menjaga mandat elektoral dari rakyat dengan membentuk kabinet yang profesional.
Kabinet profesional yang akan dibentuk oleh Jokowi-JK ini adalah bagian dari upaya memenuhi harapan rakyat untuk bisa menarik batas yang tegas antara kabinet yang sungguh-sungguh bekerja untuk kepentingan rakyat dengan kabinet yang dibentuk hanya berdasarkan alasan transaksional atau ditentukan semata-mata oleh power sharing (bagi-bagi kue kekuasaan semata).
Presiden terpilih, lanjut dia, juga terlihat akan konsisten dengan janjinya untuk menegakan hukum tanpa pandang bulu serta bersama-sama rakyat memberantas korupsi dan mafia-mafia disektor energi, kehutanan, pajak yang memiskinkan rakyat.
"Ini jelas ditakuti para oligarki ekonomi-politik yang mengendalikan jaringan mafia. Namun jelas aksi ini pasti didukung rakyat," tukasnya.
Lebih lanjut, Ari mengatakan, Presiden terpilih dalam pidato kemenangannnya tanggal 22 Juli 2014 pernah mengajak seluruh kekuataan politik yang berkontestasi dalam pemilu 2014 untuk melupakan perbedaan untuk selanjutnya bersatu untuk memperjuangkan kepentngan rakyat.