Jumat, 3 Oktober 2025

Praktik Pembintangan Anggaran oleh Banggar Membuka Ruang Korupsi

Menaruh tanda bintang pada anggaran kementerian atau lembaga berasal dari APBN yang dilakukan Badan

Penulis: Y Gustaman
Editor: Widiyabuana Slay
zoom-inlihat foto Praktik Pembintangan Anggaran oleh Banggar Membuka Ruang Korupsi
www.betteroffout.net/

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Menaruh tanda bintang pada anggaran kementerian atau lembaga berasal dari APBN yang dilakukan Badan Anggaran DPR membuka ruang korupsi. Karena untuk mencabut tanda bintang cukup disetujui ketua komisi dan anggota Banggar, komisi terkait.

Demikian disampaikan Koordinator Seknas FITRA (Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran) Maulana dalam konferensi pers bersama Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat antara lain ICW dan YLBHI di Kantor YLBHI, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (14/4/2013).

Menurut Maulana, praktik pencantuman tanda bintang ini sudah dilakukan Banggar terhadap anggaran kementerian atau lembaga. Misalnya pada Tahun Anggaran 2011, anggaran yang diblokir mencapai Rp 63.4 triliun, dan Tahun Anggaran 2012 mencapai 78.5 triliun.

"Praktik pembintangan ini jelas membuka ruang korupsi. Karena persetujuannya cukup dengan ketua komisi dan anggota banggar dari komisi tersebut. Harusnya setelah APBN ditetapkan, DPR tidak diperkenankan memberi tanda bintang," ujar Maulana.

Namun, praktik pembintangan dengan mudah dilakukan banggar dan dilegalisasi merujuk Pasal 71 huruf g dan Pasal 156 huruf a dan b UU No 27/2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Pasal ini mengandung ketidakpastian hukum dan bertentangan dengan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.

Harusnya, sambung Maulana, tugas dan wewenang DPR adalah membahas dan menyetujui RUU APBN yang diajukan pemerintah, bukan justru memblokir dengan tanda bintang. Koalisi Penyelamatan Uang Rakyat menilai apa yang dilakukan Banggar salah tafsir.

Koalisi mengingatkan publik, praktik pembintangan dilakukan Banggar terhadap anggaran pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi pada 2012 lalu. Maka muncul banyak pendapat, praktik ini secara tidak langsung upaya pengebirian DPR terhadap KPK.

"Banggar dengan melakukan pembintangan terhadap anggaran gedung baru KPK, secara tidak langsung agar KPK tidak mengganggu konstelasi politik yang dimainkan DPR atau partai politik," tambah Maulana.

Koalisi juga mengkritik Pasal 161 ayat (4) dan (5) UU 27/2009, Pasal 156 butir (c) angka 2 dan Pasal 161 UU 27/2009, yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Kedua pasal tersebut di atas bertentangan dengan Pasal 33 ayat (1), dan Pasal 23 ayat (1) UUD 1945.

"Praktik pembahasan APBN-P seperti ini jelas tidak akuntabel. Karena sangat rawan menjadi bancakan. Pasalnya, proses pembahasannya sangat singkat dan adanya penambahan anggaran," lanjut Maulana.

Koalisi menilai tidak diperkenankan proyek baru atau tambahan anggaran dalam APBN-P. Selain waktu realisasinya singkat, APBN-P hanya diperbolehkan untuk mengurangi defisit anggaran. Proses pembahasannya pun harus sama dengan pembahasan APBN.

Sejumlah pasal di atas, menurut Koalisi melegalisasi praktik korupsi. Inilah yang kemudian mendorong Koalisi melakukan judicial review terhadap sejumlah pasal yang terindikasi bermasalah dan berpotensi membuka ruang korupsi, kongkalikong, Banggar DPR RI.

Makanya, Koalisi meminta MK perlu segera memberikan kepastian hukum atas sejumlah pasal bermasalah. Semakin lamban MK memberi kepastian hukum atas judicial review UU 17/2003 dan UU 27/2009, akan semakin banyak potensi penyalahgunaan anggaran di tahun politik jelang Pemilu 2014.

Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved