RUU Kamnas
Buruh Berencana Kepung DPR dan Istana Tolak RUU Kamnas
penentangan keras dari berbagai elemen aktivis Hak Asasi Manusia dan berbagai kelompok buruh.
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA--Rencana pemerintah yang menargetkan RUU Keamanan Nasional disahkan tahun ini terus mendapat penentangan keras dari berbagai elemen aktivis Hak Asasi Manusia dan berbagai kelompok buruh.
Kali ini berbagai organisasi buruh yang terdiri dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Konfederasi Serikat pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Majelis Pekerja dan Buruh Indonesia (MPBI), Koalisi Perjuangan Hak Sipil dan Buruh (KAPAS),
Kemudian, Trade Union Rights Centre (TURC), dan Serikat Petani Indonesia (SPI) dengan menggandeng elemen masyarakat sipil dan HAM seperti YLBHI, LBH Jakarta, KontraS, Imparsial mencanangkan penolakannya terhadap RUU Kamnas, Inpres No.2 tahun 2013 tentang penanganan gangguan keamanan dalam negeri.
Presiden KSPI Said Iqbal menjelaskan, kalau RUU Kamnas dan RUU Ormas merupakan puncak konsolidasi buruh bersama dengan elemen masyarakat sipil dan HAM.
"Kami tetap menolak Inpres No.2 tahun 2013 itu serta RUU Kamnas dan RUU Ormas karena ketiganya jelas-jelas membahayakan perjuangan buruh dalam menuntut hak-haknya," ujar Said, Rabu (13/2) di gedung Yayasan Tenaga Kerja Indonesia, Jakarta.
Ditegaskan, langkah pertama gerakan buruh adalah "mengepung" gedung DPR RI dan Istana Negara pada Selasa (19/2) dan Kamis (28/2) nanti dengan mengerahkan puluhan ribu anggota berbagai serikat buruh tersebut.
"Tuntutan kami menuntut penghapusan Inpres dan RUU Kamnas di samping mengangkat isu-isu ketenagakerjaan lainnya. Selain itu kami menuntut pula penghapusan RUU Kamnas dan RUU Ormas, sebab kalaua RUU Ormas jadi disahkan pula maka kami pastikan kalau perlawanan buruh semakin keras. Sebab dengan adanya UU Ormas dan UU Kamnas maka buruh pasti gak bisa unjuk rasa lagi," tegasnya.
Salah satu yang dipersoalkan adalah isi dan substansi dari RUU Kamnas dan Inpres No.2 tahun 2013 karena menyebutkan kalau kepala daerah dapat mengerahkan tentara apabila terjadi pelanggaran tertib sipil.
Demokrasi, tegasnya, memberikan hak yang sama kepada siapa pun, termasuk kepada gerakan buruh untuk menuntut haknya melalui unjuk rasa sesuai konstitusi yang berlaku di Indonesia.
"Selain itu, hingga sekarang belum ada ukuran jelas terkait tertib sipil atau darurat sipil itu yang seperti apa. Artinya Inpres dan RUU itu dapat digunakan kepala daerah untuk mengerahkan tentara dalam mengatur bahkan membubarkan unjuk rasa buruh dengan kekerasan. Pertanyaannya, kenapa tidak digunakan undang-undang keamanan yang ada saja," papar Iqbal lagi.
Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea menambahkan, aksi unjuk rasa ke DPR RI itu juga akan menyampaikan tiga tuntutan. Yakni, kebebasan beroganisasi, berkumpul dan menyatakan pendapat, kebebasan dari rasa takut, serta menuntut negara menjamin hak setiap warga negara untuk bebas dari kemiskinan dengan menghapuskan politik dan kebijakan upah murah yang memiskinkan rakyatnya termasuk menentang penangguhan upah minimum.
"Kami buruh tidak akan segan-segan melawan jika tuntutan kami tidak dipenuhi," tegasnya.
Andi menambahkan, para buruh seharusnya bebas dari rasa takut yang dihadapi saat ini, dimana pemerintah harus lebih mengedepankan 'welfare approach' (pendekatan kesejahteraan) dibandingkan 'security approach (pendekatan keamanan).
"Bukan hanya di Jakarta saja, seluruh buruh juga akan bergerak di seluruh Indonesia pada 19 Februari dan 28 Februari nanti," ujar Andi lagi.
Ketua Setara Institute Hendardi menjelaskan kalau RUU Kamnas dan Inpres No.2 tahun 2013 itu jelas-jelas membuka peluang campur tangan militer terhadap kehidupan civil society.
"Inpres dan RUU ini'kan sama saja membuka luka lama saat rezim orde baru dulu yang sudah semuanya diperjuangkan untuk ditutup. Coba perhatikan, sangat terbuka masuknya intervensi militer dalam kehidupan civil society yang sangat berpotensi terjadinya praktik pelanggaran HAM seperti di masa lalu," papar Hendardi.