Neneng Diadili
Ahli Ungkap Ada Aliran Dana ke Neneng Sri Wahyuni
Ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ruwaidah Afiyanti mengungkapkan adanya aliran dana melalui cek ke terdakwa
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ahli dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ruwaidah Afiyanti mengungkapkan adanya aliran dana melalui cek ke terdakwa Neneng Sri Wahyuni pada proyek pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemennakertrans tahun 2008.
Menurut Ruwaidah, perihal aliran dana melalui cek itu diketahui dari Berita Acara Pemeriksaan (BAP) sejumlah saksi yang merupakan mantan karyawan PT Anugrah Nusantara.
"Saya tahu ada penarikan dana dari aliran cek yang mengalir ke Neneng berdasarkan BAP dari penyidik," kata Ruwaidah saat bersaksi untuk terdakwa Neneng di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (22/1/2013).
Ruwaidah menjelaskan, dari BAP saksi Ivan, Yulianis dan Dedi Saputra yang semuanya adalah bekas Karyawan PT Anugrah Nusantara, dikatakan bahwa penarikan uang terkait proyek PLTS dilakukan atas perintah Neneng.
"Dalam BAP saksi dikatakan, mereka diminta mencairkan cek dari PT Alfindo (pemenang lelang proyek PLTS) melaui cek yang sudah ada stempel perusahaan dan ditandatangani ibu Neneng," kata Ruwaidah.
Seperti diketahui, Neneng Sri Wahyuni terancam pidana 20 tahun penjara, karena memperkaya diri sendiri, sehingga merugikan keuangan negara Rp 2,7 miliar dari pengadaan PLTS dan Pekerjaan Supervisi Pembangkit Listrik (PSPL) di Ditjen P2MKT Kemnakertrans tahun anggaran 2008.
"Terdakwa melakukan intervensi terhadap Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dan panitia pengadaan dalam pemenang lelang PSPL di Depnakertrans yang bersumber dari APBN-P tahun 2008. Serta, mengalihkan pekerjaan utama dari PT Alfindo Nuratama sebagai pemenang ke PT Sundaya dalam pengadaan PLTS," kata jaksa Ahmad Burhanuddin saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (1/11).
Sehingga, memperkaya diri sendiri dan Muhammad Nazaruddin atau PT Anugrah Nusantara Rp 2,2 miliar. Dan merugikan keuangan negara Rp 2.729.479.128.
Dalam penjelasannya, jaksa mengatakan Neneng menggunakan bendera perusahaan lain untuk mendapatkan proyek pembangunan PLTS senilai Rp 8,9 miliar.
Dengan iming-iming mendapatkan komisi 0,5 persen dari nilai kontrak jika perusahaan yang dipinjam bisa menjadi pemenang kontrak.
"Terdakwa perintahkan Marisi Matondang membuat draft kontrak PLTS. Selanjutnya dilakukan tanda tangan surat perjanjian pengadaan, pemasangan tertanggal 22 September 2008 sebesar Rp 8.741.662.600 antara Timas Ginting selaku PPK dan Arifin Ahmad selaku dirut PT Alfindo Nuratama Perkasa," kata Ahmad.
Kemudian, pekerjaan proyek dari. Alfindo dialihkan dan dilakukan ke PT Sundaya yang dibuat dalam kontrak tertanggal 6 November 2008 senilai Rp 5.274.604.800.
Sehingga, dari selisih jumlah tersebut dianggap telah merugikan keuangan negara Rp 2,7 miliar. Dan menguntungkan diri sendiri dan Nazaruddin Rp 2,2 miliar.
Kemudian, menguntungkan Timas Ginting Rp 77 juta dan 2.000 dolar Amerika, Herdy selaku Direktur PSPK pada Depnakertrans Rp 5 juta dan 10.000 dolar Amerika, Sigit Mustofa Rp 10 juta dan 1.000 dolar Amerika.
Agus selaku anggota panitia pengadaan Rp 2,5 juta dan 3.500 dolar Amerika, Sunarko anggota panita pengadaan Rp 2,5 juta dan 3.500 dolar Amerika. Serta, Karmin Direktur PT Nuratindo Bangun Rp 2,5 juta.
Atas perbuatannya Neneng diancam pidana dalam Pasal 2 ayat 1 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP atau diancam dalam Pasal 3 jo Pasal 18 UU Tipikor jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.