Kamis, 2 Oktober 2025

Sidang Hartati Murdaya

Pengacara Tuding Tuntutan Jaksa Abaikan Fakta

Penasehat Hukum Hartati Murdaya, Dodi Abdul Kadir menuding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya berbeda dengan

Penulis: Edwin Firdaus
Editor: Johnson Simanjuntak
zoom-inlihat foto Pengacara Tuding Tuntutan Jaksa Abaikan Fakta
TRIBUNNEWS.COM/DANY PERMANA
Terdakwa kasus dugaan suap kepengurusan hak guna usaha perkebunan kelapa sawit Kabupaten Buol, Hartati Murdaya menjalani persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (20/12/2012). Pemilik PT Hardaya Inti Plantation (PT HIP) dan PT Cipta Cakra Murdaya (PT CCM) tersebut didakwa 5 tahun penjara karena diduga menyuap Bupati Buol, Amran Batalipu. TRIBUNNEWS/DANY PERMANA

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Penasehat Hukum Hartati Murdaya, Dodi Abdul Kadir menuding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya berbeda dengan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Selain itu, kata Dody tuntutan selama 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 4 bulan kurungan itu akan menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di tanah air.

"Dari keterangan saksi-saksi dalam persidangan, tidak ada satupun mengungkap Ibu Hartati menyuap bekas Bupati Amran Batalipu. Tetapi JPU malah menuntut selama itu," kata Dody usai persidangan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (14/1/2013).

Menurutnya, fakta persidangan yang terungkap, tidak satupun mendukung dasar tuntutan JPU.  PT HIP tidak berkepentingan mengurus perizinan karena lahan perkebunan itu sah berdasarkan izin prinsip yang terbit tahun 1993. Izin prinsip itu diterbitkan atas dasar Keppres Nomor 37 Tahun 1993.

"Dari keterangan saksi ahli jelas bahwa terbitnya Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1999 tidak lantas membatalkan luasan lahan PT HIP. Sebab, peraturan itu tidak berlaku surut. Ini menegaskan, bahwa Ibu Hartati tidak berkepentingan mengurus perizinan sebagaimana tuntutan JPU," urainya.

Karena itu, Dodi menilai, tuntutan itu menjadi preseden buruk bagi iklim investasi di tanah air. Pengusaha yang harusnya mendapat perlindungan dan insetif pemerintah atas investasi yang ditanamnya justru dihadapkan dengan hukum.

"Ini kontraproduktif dengan kepentingan pemerintah untuk menarik investasi sebanyak-banyaknya demi percepatan pembangunan. Harus diingat, Ibu Hartati adalah pionir investasi di Buol. Disaat investasinya sudah berjalan dan kondisi perekonomian di Buol maju, bukannya diberikan penghargaan, Ibu Hartati malah dihadapkan dengan hukum," ujarnya.

Selain itu, menurutnya, dalam persidangan yang terungkap justru pemberian uang itu untuk sumbangan Pilkada karena Amran Batalipu saat itu kembali maju dalam Pilkada Buol. Jadi imbuhnya, harus undang-undang mengatur bahwa status Amran saat itu bukanlah penyelenggara negara sehingga tidak bisa dikenakan UU Pemberantasan Tipikor.

"Kasus ini membuka bagaimana kebingungan pengusaha sebagai investor menghadapi pilkada. Kalau tidak memberi, usahanya akan diganggu-ganggu. Investasinya terancam. Kalau memberi salah, dikenakan pasal penyuapan," imbuhnya.

Klik:


Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved