Neneng Diadili
Nazaruddin Bantah Kesaksian Wasekjen PD Soal Uang 50 Ribu Dolar As
Terpidana kasus suap Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin kerap membantah seluruh kesaksian Wasekjen Partai Demokrat

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terpidana kasus suap Wisma Atlet Muhammad Nazaruddin kerap membantah seluruh kesaksian Wasekjen Partai Demokrat, Saan Mustopa terkait kasus korupsi PLTS di Kemenakertrans.
Bos Permai Grup tersebut membantah kesaksian Saan jika uang 50 ribu dollar Amerika yang sempat diberikan kepada Saan merupakan pinjaman untuk pencalonan legislatif untuk pemilu. Menurut Nazar pernyataan Saan dalam persidangan tak benar.
"Enggak benar," tegas Nazaruddin saat bersaksi untuk terdakwa Neneng Sri Wahyuni di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Selasa (8/1/2013).
Nazar pun membantah jika uang tersebut telah dikembalikan kepadanya. Sementara, Saan sebelumnnya mengaku jika uang pinjaman telah dikembalikan.
"Nggak, enggak itu" kata Nazaruddin menimpali pertanyaan majelis Hakim.
Nazaruddin pun membantah telah merobek kuitansi terkait pinjaman uang tersebut. Di hadapan majelis hakim, Nazar mengaku tak pernah merobek kuitansi tersebut.
Sebelumnnya, Anggota DPR dari Partai Demokrat Saan Mustopa saat bersaksi untuk terdakwa Neneng Sri Wahyuni mengaku pernah ditawari uang oleh M Nazaruddin.
Uang tersebut, lanjut Saan, dimaksudkan Nazar untuk membantu dirinya yang akan mengikuti pemilihan umum legislatif. Khususnya untuk menjadi nomor urut satu calon anggota legislatif dari daerah pemilihan Karawang, Jawa Barat.
"Saya pernah menerima uang 50 ribu dollar Amerika," katanya saat bersaksi untuk Neneng di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (20/12/2012).
Dijelaskan Saan, awalnya dirinya, Nazar, Anas Urbaningrum dan sejumlah rekan-rekan dari Partai Demokrat lain sering berkumpul di kantor Nazar, PT Anugrah Nusantara. Biasanya kebersamaan ini terjadi menjelang akhir pekan. Nah, pada saat berkumpul pada tanggal 12 Agustus 2008 itu, diskusi mengarah ke pencalonan mereka menjadi anggota legislatif.
Saat pertemuan, Nazar menguraikan ingin membantu Saan menjadi calon legislatif nomor urut satu di daerah pemilihannya. Atas tawaran tersebut, Saan sempat menolaknya. Ia yakin, tanpa embel-embel uang dirinya bisa terpilih dalam pemilu legislatif. Namun, Nazaruddin bersikeras. Uang tersebut rencananya akan diberikan Nazar ke Ketua Umum Partai Demokrat Hadi Utomo di sebuah hotel.
Tapi, karena di hari yang sama Nazar dan Saan tak bertemu Hadi, uang tersebut dibawa kembali oleh Nazar. Alhasil, uang pun tak jadi digunakan. Namun, karena Saan sudah menandatangani kuitansi pinjaman dari Nazar, beberapa waktu kemudian ia menghubungi Nazar.
"Saya tanya, kuitansi bagaimana, katanya (Nazar) akan disobek. Karena teman, saya percaya saja, " kata Saan.
Saan membantah bahwa uang itu dimaksudkan untuk diberikan ke Menakertrans saat itu, Erman Suparno. Berkali-kali ia menegaskan uang tersebut hanya sebuah pinjaman saja.
"Nazar bilang ke saya itu pinjaman. Makanya saya nggak berpikir akan seperti ini," ujar Saan.
Sementara Nazar sebelumnnya berkali-kali mengatakan bahwa uang 50 ribu dollar Amerika itu diberikan ke Saan adalah sebuah titipan yang akan diberikan ke Manekertrans Erman Suparno terkait pengurusan proyek PLTS. Bahkan, kuitansi yang disebut-sebut Nazar sudah ditandatangani Saan itu telah dijadikan barang bukti dalam perkara ini.
Dalam perkara ini, terdakwa Neneng yang menjabat Direktur Keuangan PT Anugrah Nusantara didakwa telah melakukan intervensi ke sejumlah pejabat Kemenakertrans terkait PLTS tahun 2008. Intervensi yang dilakukan terdakwa, dengan memerintahkan Marisi Matondang untuk mempengaruhi Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Timas Ginting dan panitia pengadaan agar memenangkan PT Alfindo Nuratama Perkasa sebagai peserta lelang.
Selain mengintervensi, terdakwa juga dianggap mengalihkan pekerjaan utama proyek yang seharusnya dikerjakan PT Alfindo kepada PT Sundaya Indonesia dengan nilai pekerjaan sebesar Rp5,2 miliar. Padahal, PT Alfindo memenangkan proyek ini dari satker Direktorat Pengembangan Sarana dan Prasarana Kawasan (Dit PSPK) Kemenakertrans sebesar Rp8,9 miliar. Kelebihan uang itu merupakan kerugian negara dalam proyek ini.
Atas perbuatannya tersebut, penuntut umum menerapkan dakwaan alternatif terhadap Neneng.
Dakwaan pertama Neneng dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Atau dakwaan kedua melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 UU Pemberantasan Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dengan ancaman pidana paling lama 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp 1 miliar.