Mafia Pajak
Dhana Widyatmika Berharap Hakim Memvonis Bebas
Terdakwa perkara korupsi dan pencucian uang, Dhana Widyatmika menjalani sidang putusan hari ini, Jumat

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa perkara korupsi dan pencucian uang, Dhana Widyatmika menjalani sidang putusan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, hari ini, Jumat (9/11/2012).
Persidangan mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak pada Kementerian Keuangan tersebut akan berlangsung siang nanti.
"Sejauh ini jadwalnya setelah shalat Jumat, jam 14.00 WIB," kata Penasehat Hukum Dhana, Daniel Alfredo ketika dihubungi.
Daniel berharap majelis hakim dapat mengabulkan semua yang disampaikan pihaknya. Di mana fakta sidang, klaim dia, menunjukan kliennya tidak bersalah.
"Klien kami tidak terbukti melakukan tindak pidana korupsi, tidak terlibat pemeriksaan maupun memeras," kata Daniel.
Sehingga, sambung Daniel, mereka berharap ada terobosan baru yang dilakukan hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, di mana perkara kliennya menjadi perkara pertama yang diputus bebas.
Seperti diketahui, oleh Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri, Dhana dituntut dengan 12 tahun penjara dan denda satu miliar rupiah subsider enam bulan kurungan. Pasalnya, Dhana terbukti melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana di atur dalam dakwaan kesatu primer Pasal 12 huruf b ayat (1) dan (2) Undang-undang pemberantasan tindak pidana korupsi, jo Pasal 65 ayat (1) KUHP.
Selain itu, Dhana juga terbukti melanggar Pasal 3 Undang-undang Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dia pun terbukti melanggar Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 tahun 2010 Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 65 ayat (1) KUHP
Jaksa menerangkan, terdakwa memiliki rekening di Bank Mandiri cabang Nindya Karya. Dia pun menerima uang dari rekannya Herly Isdiharsono, mantan pegawai Ditjen Pajak.
"Benar terima uang dari Herly melalui saksi Liana Apriyani dan Veemy Solichin dengan setoran tunai di Mandiri sebesar Rp3,4 miliar. Rinciannya, Liana Rp2,9 miliar dan Veemy Rp500 juta," kata jaksa.
Selanjutnya hari itu juga Dhana atas permintaan Herly mentransfer uang sebesar Rp1,4 miliar ke rekening Neni Noviantini untuk beli rumah di Perumahan Taman Berdikari. Sentosa, Jakarta Timur atas nama Herly. Sedangkan sisanya dua miliar rupiah diterima dhana
"Benar uang Rp3,4 miliar di Bank Mandiri cabang Nindya Karya berkaitan dengan jasa menurunkan pajak PT Mutiara Virgo," kata jaksa.
Terdakwa juga menerima Mandiri Traveller Cheque dari Ardiyansah, Staf Keuangan Pemerintah Kota Batam. Dia membeli MTC cabang Imam Bonjol sebanyak Rp500 juta
Ardiansyah kata jaksa, kemudian membeli lagi MTC pada tanggal 28 September 2007 sebanyak 30 lembar. Sehingga jumlahnya menjadi Rp750 juta
Ardiyansah mengirim MTC itu Atas permintaan Kepala Sub Bagian Verifikasi pada Bagian Keuangan Pemerintah Kota Batam, Erwinta dan Kepala Bagian Keuangan pada Pemerintah Kota Batam, Raja Muksin.
Selanjutnya menurut jaksa, MTC yang dibeli Ardiyansyah telah diterima oleh terdakwa dan dicairkan di Bank Mandiri cabang Nindya Karya.
Selain itu, Dhana juga menerima MTC dari wajib pajak bernama Rudi Kurniawan dengan total Rp500 juta. MTC dicairkan Dhana di Bank Mandiri pada 10 Oktober 2007.
"Berdasarkan fakta tersebut terdakwa menerima uang Rp3,4 miliar melalui transfer antar bank, berkaitan dengan penerimaan uang melawan hukum untuk jasa menurunkan kewajiban PT Mutiara Virgo. Terdakwa juga terima MTC senilai Rp750 juta dan tidak melapor gratifikasi ke KPK. Sehingga unsur gratifikasi terbukti," kata jaksa.
Dalam dakwaannya, Dhana dinilai menyalahgunakan kewenangannya sebagai pegawai Ditjen Pajak terkait perhitungan pajak PT Kornet Trans Utama.
Pada tahun 2005, terdakwa menerima sebuah data berupa neraca keuangan PT KTU yang terdapat cap tapi tidak ada tandatangan direktur utama PT KTU.
"Terdakwa membuat seolah-olah bahwa data eksternal tersebut valid. Padahal terdakwa tahu data eksternal tidak dapat dipakai dari segi legalitas. Oleh karena itu wajib pajak tidak menerima," kata jaksa.
Jaksa menambahkan, terdakwa tahu kalau wajib pajak tidak akan menerima maka bisa mengajukan banding. Dan jika negara kalah maka Ditjen Pajak harus membayar ke wajib pajak.
Pada Desember 2005, Dhana memerintahkan Salman meminta data ke PT KTU. Kala itu saksi Riana Yuliarti menyerahkan dokumen di Tebet Indrayana Square.
Lalu terdakwa mengatakan kalau menggunakan data eksternal itu maka kewajban pajak PT KTU menjadi tiga miliar rupiah. Terdakwa menawarkan bisa mengubahnya, dengan memberikan imbalan satu miliar. Namun permintaan Salman dan terdakwa tidak dilayani Dirut PT KTU karena merasa eksternal itu tidak benar.
Kemudian terdakwa dan tim pemeriksa pajak PT KTU, Salman dan Firman membuat perhitungan dari data eksternal hingga dikeluarkan surat ketetapan pajak kurang bayar, yang menyebabkan besaran pajak PT KTU membengkak.
PT KTU ajukan mengajukan keberatan tapi ditolak. Mereka kemudian mengajukan banding. Pengadilan pajak menyatakan data eksternal tidak valid.
Terdakwa kata jaksa, sadar besar kemungkinan PT KTU akan mengajukan banding. Tak hanya itu, terdakwa sadar, data eksternal tidak dapat dijadikan dasar perhitungan pajak
"Atas perbuatan terdakwa bersama Firman dan Salman negara harus mengeluarkan uang Rp967 juta ditambah bunga Rp241 juta, yang jumlahnya Rp1,208 miliar," kata jaksa.
Kemudian dalam TPPU, terdakwa dinilai telah menyembunyikan asal usul harta dengan memasukan dana ke berbagai rekening di antaranya CIMB Niaga, HSBC, Standard Chartered Bank, Mandiri, dan BCA.
Terdakwa kata jaksa, juga menyembunyikan harta dengan membeli aneka logam mulia, membelanjakan uang diduga hasil korupsi dengan membeli tanah dan properti, apartemen dan menyembunyikan sejumlah mata uang dalam safe deposit box di Bank Mandiri.
Jaksa mengatakan, terdakwa tidak dapat membuktikan harta kekayaannya berasal dari warisan orang tua. Terdakwa pun tidak dapat memisahkan mana bagian harta milik terdakwa dan mana milik adiknya. Namun, dalam eksepsi dan pembelaan (pledoi) semua dakwaan dan tuntutan jaksa dibantah terdakwa dan penasehat hukumnya.
(edwin Firdaus)