Neneng Diadili
Neneng Sri Wahyuni Merasa Dianiaya KPK
Terdakwa perkara korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans, Neneng Sri Wahyuni merasa dianiaya Komisi

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terdakwa perkara korupsi proyek Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Kemenakertrans, Neneng Sri Wahyuni merasa dianiaya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), karena tidak diperbolehkan pindah ke Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Saat ini, Neneng ditahan di Rutan KPK.
"Saya merasa dianiaya KPK. Saya berkali-kali meminta agar pindah ke Rutan Pondok Bambu, karena sedih, saya mogok makan. Tapi itu tidak mengetuk hati mereka," kata Neneng dalam nota keberatan (eksepsi) pribadinya yang dibacakan penasihat hukumnya, Elsa Syarief di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, (8/11/2012)
Seharusnya, kata Elza meneruskan eksepsi Neneng, KPK mengedepankan hati nurani. Pasalnya, Neneng masih mempunyai tiga anak balita, yang masih membutuhkan kasih sayang dari orangtuanya
"Tahun 2009 karena saya baru melahirkan, anak pertama saya sendiri berumur beberapa bulan (balita) dan kedua yang masih bayi," urainya.
Lebih lanjut, istri Nazaruddin itu meminta Pengadilan untuk membebaskannya, karena hal tersebut merupakan keniscayaan yang bisa diketuk lewat perasaan.
"Pada kesempatan ini saya berusaha untuk mengetuk hati nurani yang mulia (majelis hakim)," ujarnya.
Sebelumnya, Neneng Sri Wahyuni selaku mantan Direktur Keuangan PT Anugerah Nusantara didakwa melakukan korupsi terkait pengadaan dan pemasangan PLTS di Kemennakertrans yang bersumber dari APBN-Perubahan 2008.
Menurut jaksa, istri M Nazaruddin itu, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi sehingga merugikan keuangan negara sekitar Rp 2,72 miliar.
Jaksa mendakwa Neneng secara alternatif, yakni melanggar Pasal 2 Ayat 1 atau Pasal 3 Undang-Undang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Ancaman hukumannya, maksimal 20 tahun penjara ditambah denda maksimal Rp 1 miliar.