Oknum DPR Minta Jatah
Pengamat: Negeri Ini Sudah Amburadul
Sejak kasus Bank Century, Cicak Buaya I hingga Cicak Buaya II dan kasus-kasus lainnya, saling bunuh karakter di panggung politik Indonesia
TRIBUNNEWS.COM,JAKARTA - Sejak kasus Bank Century, Cicak Buaya I hingga Cicak Buaya II dan kasus-kasus lainnya, saling bunuh karakter di panggung politik Indonesia menjadi tontonan publik yang sambung menyambung.
Berlanjut, ke kasus tudingan pemerasan DPR kepada sejumlah BUMN, pembunuhan karakter itu menunjukkan bahwa kepemimpinan nasional tidak bisa diteladani, tidak punya nyali dalam menindak dan pilih kasih dalam membuat kebijakan, serta lebih banyak asal omong dari pada melaksanakan komitmen konstitusional.
Hal ini dikatakan oleh pengamat kebijakan publik Ichsanuddin Noorsy kepada Tribun, Sabtu (3/11/2012).
Dikatakan, dalam kasus sejumlah nama anggota DPR berinisial tertentu disebarkan sebagai pemeras, maka pembunuhan karakter merembet ke delegitimasi, bahkan sampai pada upaya untuk tidak mempercayai kebijakan dan sikap politik DPR.
"Sikap ini secara sengaja atau tidak merupakan perlawanan atas kebijakan DPR terhadap kasus Century dan Cicak Buaya serta Wisma Atlet juga Hambalang. Setuju atau ditolak, sikap DPR itu telah membuahkan runtuhnya kepercayaan publik terhadap Pemerintah dan melorotnya populeritas partai penguasa," ujar Noorsy.
Balasan atas sikap DPR itu adalah Pidato Presiden atas pernyataan Antasari Azhar sambil mengemukakan parpol lain lebih korup. Saling bunuh karakter ini, imbuhnya, menunjukkan pula tidak cerdas, tidak bersih, dan tidak santunnya situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Lagi-lagi, sambung Noorsy, fakta dan data tersebut sekadar memperkuat, negeri ini memang sudah amburadul.
"Sadar akan besarnya potensi pembunuhan atas karakter dirinya itulah, Dahlan Iskan sebagai mantan Dir-Ut PLN melempar isu sejumlah anggota DPR adalah pemeras BUMN. Walau jika merujuk kasus MNA, sumber informasi Dahlan adalah menyesatkan, namun tudingannya dalam beberapa hal ada benarnya," katanya.
Namun bobot kebenaran tudingan itu, menurut Noorsy, sepantasnya tidak ditujukan dalam rangka ia membela diri atas hilangnya kesempatan PLN melakukan penghematan atas belanja solar sebesar Rp37,6 T pada 2009 dan 2010.
Menurut Pemerintah, subsidi solar sebanyak 6,3 juta KL, 6,9 juta KL dan 8,0 juta KL masing-masing pada 2009, 2010 dan 2011. Dari meningkatnya pemakaian solar itulah kerugian PLN tahun 2009 = Rp10,3 triliun, tahun 2010 = Rp10,1 triliun, tahun 2011 = Rp7,2 triliun, semester I 2012 = Rp31 miliar.
Selain belanja solar itu belum jelas apakah dialokasikan pada APBN 2009 dan 2010 atau tidak, kerugian PLN itu yang bisa jadi mendorong Dahlan melempar isu pemerasan DPR sehingga isu kerugian PLN sendiri tidak menjadi fokus media dan sirna termakan isu pemerasan.
"Siapa pemenangnya? Waktu yang akan bicara, dan siapa yang mampu memainkan pemberitaan media massa," kata Noorsy.
Klik: