Korupsi Tanah PT Barata Indonesia
KPK Hebat di Jakarta, Tapi Terseok Habisi Korupsi di Daerah
KPK bergerak cepat menggarap kasus korupsi yang banyak disorot media. Tapi kasus korupsi di daerah-daerah kurang serius digarap.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA
Meski Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sering didera isu-isu penggembosan wewenang dan pelemahan kekuasaan, tapi lembaga anti koruptor ini tetap powerful menangani kasus-kasus yang menyita perhatian publik seperti kasus korupsi Wisma Atlet yang menjerat Angelina Sondakh atau dugaan suap pemilihan direksi Bank Indonesia yang menjerat Miranda Goeltom.
Meski demikian, KPK juga diingatkan agar tidak lalai menuntaskan ratusan kasus-kasus korupsi di daerah-daerah. Anggota Komisi III DPR Ahmad Yani menilai KPK sangat fokus menggarap kasus- kasus korupsi hanya yang disorot media massa saja.
Sedangkan laporan dugaan korupsi di daerah-daerah cenderung dianggap angin lalu. "Saya banyak mendapat keluhan dari teman-teman di Maluku Utara, dari Medan, dari Jawa Barat dan macam- macam. Mereka bilang, laporan (dugaan korupsi) dari daerah dicuekin saja. Mereka kecewa sekali, karena yang digarap KPK kasus-kasus yang banyak disorot media saja. Yang daerah kurang serius, " kata Ahmad Yani kepada Tribunnews, Rabu (3/9/2012).
Ahmad Yani mencontohkan, kasus penjualan tanah milik negara (BUMN) PT Barata Indonesia di Jl Raya Ngagel 109 Wonokromo, Surabaya (yang merugikan negara sekitar Rp 40 miliar), misalnya, hanya berhenti pada penjual saja. Dalam konteks ini adalah Mahyudin Harahap (Direktur Keuangan PT BI) yang kini berstatus terdakwa.
Sementara sang pembeli transaksi tanah bermasalah ini tidak dikejar. Padahal logikanya transaksi bermasalah selalu melibatkan penjual dan pembeli. "Tebang pilih seperti ini yang membuat orang jadi malas melaporkan dugaan korupsi di daerah," tutur Ahmad Yani.
Secara terpisah, Anggota Komisi III lainnya, Ruhut Sitompul (Fraksi Demokrat) menanggapi, lemahnya KPK menuntaskan kasus dugaan korupsi di daerah karena kekurangan penyidik. Apalagi sekarang tengah heboh penarikan puluhan tenaga penyidik Polri di tubuh KPK.
"Selain itu, laporan dugaan korupsi di daerah-daerah itu sedikit sekali yang dilengkapi bukti-bukti. Rata-rata cuma laporan saja. Ya, bagaimana mau ditindaklanjuti?" ujar Ruhut Sitompul kepada Tribunnews.
Diakui Ruhut, kekurangan tenaga penyidik di tubuh KPK ini memang membuat proses peradilan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah-daerah berujung kekecewaan publik. "Makanya jangan heran kalau di Tipikor daerah seorang terdakwa divonis bebas murni padahal sebelumnya sudah terbunuh kharakternya," ujar Ruhut. "Ya KPK sih serius, tapi kalau Tipikor-nya (di daerah) masuk angin, ya banyak yang bebas," imbuhnya.
Sebelumnya, KPK telah memeriksa Shindo Sumidomo (pembeli tanah milik PT BI) sekaligus Presiden Direktur PT Siantar Top Tbk. Shindo alias Asui pada Kamis (19/7/2012) lalu. Ia diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Mahyuddin Harahap, Direktur Keuangan dan Sumber Daya Manusia PT Barata Indonesia.
Pada 19 September 2012 lalu Mahyudin bahkan sudah naik statusnya dari tersangka ke terdakwa.
Situs Kompas.com menyebut, pengusaha asal Surabaya, Jawa Timur, itu diperiksa karena dianggap mengetahui soal penjualan tanah di Jalan Raya Nagel 109 di Wonokromo, Surabaya, milik PT Barata yang tengah disidik KPK. Informasi dari KPK menyebutkan, perusahaan Asui diduga membeli tanah di Jalan Raya Ngagel yang dipermasalahkan itu.
KPK juga pernah memanggil pengusaha Surabaya lainnya, Presiden Direktur PT Maspion Indonesia Alim Markus sebagai saksi dalam kasus ini. Saat itu Alim membantah jika dirinya membeli tanah PT Barata.
Penjualan aset PT Barata Indonesia berupa sebidang tanah di Jalan Ngagel Nomor 109, Surabaya, itu menjadi perkara dugaan korupsi setelah KPK menetapkan Mahyuddin sebagai tersangka pada 10 Maret 2012. Mahyuddin diduga melakukan praktik memperkaya diri sendiri atau orang lain serta penyalahgunaan wewenang dalam penjualan aset tersebut.
Akibat perbuatan Mahyuddin, yang diduga menurunkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah sebelum dijual itu, negara mengalami kerugian Rp 40 miliar. Aset berupa tanah yang seharusnya bernilai Rp 132 miliar hanya dijual dengan harga Rp 83 miliar oleh Mahyuddin. Tanah itu dijual kepada pihak swasta melalui penawaran dan penunjukan terbuka.
Berita terkait