Sabtu, 4 Oktober 2025

JIL: Pengeras Suara untuk Kegiatan Keagamaan Perlu Diatur

Ulil mengungkapkan, peraturan mengenai pengeras suara sudah diatur di Malaysia dan Mesir.

Penulis: Bahri Kurniawan
zoom-inlihat foto JIL: Pengeras Suara untuk Kegiatan Keagamaan Perlu Diatur
TRIBUNNEWS.COM/DANY PERMANA
Koordinator Jaringan Islam Liberal (JIL) Ulil Abshar Abdalla

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Wacana pengaturan penggunaan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan menjelang Ramadan di beberapa daerah, mendapat beragam tanggapan dari berbagai pihak.

Ulil Abshar Abdalla, aktivis Jaringan Islam Liberal (JIL) berpendapat, diperlukan aturan dari pemerintah untuk mengatur tata cara penggunaan pengeras suara dalam kegiatan keagamaan.

Itu dilakukan agar tidak menyebabkan ketidaknyamanan dari kelompok masyarakat, dari kepercayaan yang berbeda.

"Penggunaan pengeras suara untuk dakwah keagamaan, saya kira pelan-pelan perlu diatur. Karena, terus terang ada banyak komplain dari kelompok-kelompok yang berbeda agama terhadap penggunaan pengeras suara," papar Ulil saat ditemui usai diskusi 'Agama dan Toleransi di Persimpangan Jalan', saat peresmian Abdurrahman Wahid Centre di Perpustakaan Pusat UI, Depok, Rabu (18/7/2012).

Ulil tak hanya berbicara mengenai penggunaan pengeras suara untuk kegiatan keagamaan Umat Islam, tapi berlaku umum untuk semua agama, seperti Kristen dengan loncengnya.

Ulil mengungkapkan, peraturan mengenai pengeras suara sudah diatur di Malaysia dan  Mesir. Negara-negara Barat pun sudah lazim dengan aturan seperti itu.

"Gereja enggak boleh membunyikan lonceng seenaknya. Waktunya ditentukan dan derajat gelombang suaranya diukur sedemikian rupa, agar tidak mengganggu orang lain," tambah Ulil.

Menurut Ulil, pemerintah perlu mengarahkan aturan tersebut, walaupun saat ini memang krusial jika berbicara tentang regulasi penggunaan pengeras suara.

Tapi, aturan tersebut memang pelan-pelan perlu diatur.

"Kalau azan itu sih oke. Tapi, kalau misalnya pengajian atau kotbah Jumat, kenapa tidak pengeras suaranya ke dalam saja, untuk jamaah yang ada di situ, bukan keluar. Karena, kalau keluar berpotensi mengganggu orang lain," tutur Ulil.

Pada kesempatan yang berbeda, Said Aqil Siradj mengungkapkan, penggunaan pengeras suara tergantung lingkungan sekitar tempat tinggal.

Kalau tinggal di daerah mayoritas Muslim dan menggunakan pengeras sudah menjadi kebiasaan, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Namun, jika tinggal di masyarakat non Muslim, maka perlu disesuaikan.

"Karena ada juga yang senang dengan suara mengaji yang keras," cetusnya.

Sebelumnya, Wakil Presiden Boediono dalam acara Muktamar Dewan Masjid Indonesia ke-6 pada April lalu menyampaikan, pemerintah harus melai mengatur penggunaan pengeras suara di dalam Masjid.

Selain menghormati dan toleransi terhadap agama lain, pengeras suara yang terdengar sayup-sayup lebih memiliki efek ajakan untuk beribadah, ketimbang suara yang keras dan menghentak. (*)

BACA JUGA

Sumber: TribunJakarta
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved