Pesawat Merpati Jatuh
Ini Rekam Jejak Merpati MA-60 di Indonesia
Sebelum jatuh hingga menewaskan 27 orang, Pesawat Merpati MA-60 mengalami sengkarut permasalahan.
"Ketika itu, masalah utamanya merpati tidak memiliki pesawat komuter, semantara merpati harus direstrukturisasi. Dan saat bersamaan ada tawaran dukungan finansial cina dan penyediaan pesawat MA-60 sebanyak 15," ujar mantan Menteri Perhubungan Jusman Syafii Djamal kepada Tv one di Jakarta, Senin (9/5/2011).
Diberitakan sebelumnya, tawaran ini memikat Merpati, kontrak pembelian bersyarat ditandatangani Hotasi Nababan, Direktur Utama Merpati saat itu dengan pihak Xi'an. Dalam kontrak bertanggal 7 Juni 2006 di Beijing, Merpati setuju membeli 15 pesawat MA-60 senilai 232,4 juta dolar AS. Sebagai tahap awal, Merpati pun dibolehkan untuk terlebih dahulu menyewa dua MA-60 selama 24 bulan sejak Januari 2007. Harga sewa pesawat Xian ini mencapai 70 ribu dolar AS per bulan setiap unit. Dua pesawat ini pun melayani rute Bali-Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur-Sulawesi Selatan.
Kesepahaman ini pun tertuang dalam perjanjian pinjaman antara bank Exim Cina dengan Departemen Keuangan pada 5 Agustus 2008. Bahkan, sesuai dengan perjanjian, Bank Exim menyediakan pembiayaan 1,8 miliar yuan untuk jangka waktu 15 tahun. Pinjaman ini berbunga 2,5 persen per tahun.
Lantaran pinjaman diberikan kepada pemerintah, Merpati mau tak mau menandatangani perjanjian penerusan pinjaman dengan Departemen Keuangan. Langkah ini diambil agar Merpati bisa mendapat fasilitas pembiayaan.
Belum mendapat perjanjian penerusan pinjaman, di tengah jalan, Merpati justru mengalami kesulitan keuangan. Pada akhir 2008, asetnya cuma Rp 1,06 triliun, sedangkan kewajibannya Rp 2,7 triliun. Tim restrukturisasi mengusulkan beberapa persyaratan kontrak ditinjau ulang, misalnya soal harga, jumlah pesawat, dan garansi.
"Dilakukan negosiasi secara korporasi. Merpati menghubungi Xiang, dan kemudian melaporkan ada dukungan finansial ada. Ini dilaporkan ke Menneg BUMN Sofyan Djalil," jelas Jusman.
Di tengah tarik-ulur negosiasi, Wakil Presiden Jusuf Kalla pun mempertanyakan perihal pembelian pesawat MA-60 ini. "Setelah akan di follow up, ada persoalan. Karena pesawat yang akan kita beli ini baru keluar 2000-an. Timbul pertanyaan dari pak JK, apakah populasi sudah memenuhi safety, bagaimana dengan jejak rekam pesawat karema tanpa keandalan dia tidak dapatdigunakan di Indonesia," ungkap Jusman.
Bukan hanya itu, Jusuf Kalla juga mempertanyakan perihal sertifikasi pesawat yang tidak dimiliki MA-60. "Belia juga mempertanyakan sertifikasi itu," ungkapnya seraya mengemukakan, tanpa sertifikasi kelaikan terbang internasional, MA-60 memiliki evolusi konstruksi pesawat yang mempuni.
"Kalau dari rekam jejak evolusi konstruksi pesawat, ya dapat dikatakan ada keandalan rekam jejaknya," tuturnya.
Jusman menambahkan, pesawat MA-60 tidak memiliki sertifikasi FAA (Federal Aviation Administration)selama ini, lantaran pesawat diproduksi secara hybrid. Sejumlah komponen pesawat MA-60 merupakan perpaduan komponen pesawat asal Kanada, Amerika dan Rusia.
"Kombinasi ini yang akhirnya mereka tidak mendapat sertifikasi FAA. Karena itu dibutuhkan proses validasi," ungkap Jusman.
Kendati mengalami berbagai permasalahan, dikabarkan Tempo justru Sofyan Djalil yang saat itu menjabat Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara, mengusulkan Departemen Keuangan menyetujui perjanjian penerusan pinjaman. Usul itu disampaikan menjelang berakhirnya masa kerja Kabinet Indonesia Bersatu I.
Bukan hanya itu, Xi'an pun melunak. Xi'an juga bersedia menyediakan garansi kelaikan terbang dalam bentuk ketersediaan suku cadang, komponen, tidak ada pembatasan sertifikasi selama masa pakai 25 tahun, serta jaminan perbaikan terhadap kerusakan yang bersifat baby sickness alias kerusakan dini ketika pesawat baru saja dioperasikan. Xi'an juga mau memberikan garansi pembelian kembali bila terjadi kesalahan pabrikasi. Pengiriman pesawat dilakukan selama dua tahun.
Atas sejumlah pemikat ini, Kementerian Perhubungan menyata kan sertifikasi pesawat MA-60 telah sesuai dengan prosedur dan memenuhi persyaratan regulasi keselamatan penerbangan sipil. Buntutnya, Direktur Jenderal Perbendaharaan Negara Herry Purnomo malayangkan nota dinas kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani agar menerbitkan surat persetujuan.
Syaratnya, plafon pinjaman dalam bentuk rupiah, yang nilainya ekuivalen dengan 232,4 juta dolar AS. Nilai kurs dipatok maksimum Rp 10 ribu per dolar. Jangka waktu pinjaman 15 tahun, termasuk masa tenggang 5 tahun. Tingkat suku bunga 3 persen per tahun.
Merpati pun diharuskan membuka rekening penampungan. Arus kas operasional pesawat MA-60 dan pembayaran penerusan pinjaman kepada pemerintah dilakukan melalui rekening ini.
Setelah tertunda berkali-kali, akhirnya perjanjian penerusan pinjaman diparaf Menteri Keuangan Agus Martowardojo pada awal Juli 2010.