Teror Bom Buku
Intelejen Harus Akui Kecolongan
Pihak intelejen kepolisian harus lapang dada mengakui kecolongan mengantisipasi aksi teror bom buku.

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Pihak intelejen kepolisian harus lapang dada mengakui kecolongan mengantisipasi aksi teror bom buku. Sikap legowo itu lebih baik dibanding pernyataan bantahan demi bantahan, namun faktanya memang kecolongan.
"Apalagi intelejennya kecolongan. Ini sama saja seperti data yang bocor ke Wikileaks. Itu juga kecolongan. Ngaku saja, jantan saja. Enggak usah ngeyel, begini begitu. Apa susahnya ngaku kecolongan. Kalau pun mengaku kecolongan, enggak berpengaruh ke kredibilitas intelejen," ujar pengamat terorisme, Mardigu Wowiek Prasantyo saat dihubungi, Jumat (18/3/2011).
Menurut Mardigu, para teroris telah menyiapkan bom-bom buku tersebut sejak lama, dengan para pemain lama, tapi dengan modus yang telah dimprovisasi.
"Apakah ini orangnya Abdullah Sonata, Upik Lawangan, tapi intinya mereka itu orang-orang yang yang sering ngumpul di JI (Jemaah Islamiyah). Pengikut Abdullah Sonata masih sangat banyak, yang bekas konflik Poso. Garis terornya masih sama, tapi Amirnya beda. Ini yang bergerak sel-sel. Ini orang-orang lama, yang berimprovisasi. Mereka bergerak sendiri, masing-masing sel," papar Mardigu.
Aksi teror bom buku dan dimungkinkan dengan variasi lainnya, akan terus berlanjut dalam waktu dekat. "Sekarang yang baru dimunculkan baru empat (bom buku). Tapi, 37 bom buku berikutnya itu bisa saja terjadi. Karena ini akan terus berlanjut," katanya.
Karena peluang aksi teror bom akan terus berlanjut, maka tugas kepolisian akan semakin berat. Namun, jika bagian intelejen tidak kecolongan kembali, maka aksi teror bom itu bisa diminimalisir.