Banjir Jakarta
Takdirkah Jika Sejak Lahir Jakarta Selalu Akrab dengan Banjir Kiriman? Simak Faktanya Dari Zaman VOC
Jakarta lagi-lagi 'diselimuti' banjir yang memang hadir bak pencuri, datang sewaktu-waktu tanpa permisi.Takdirkah ini?
Tentu saja karena rumahnya ketemuan air banjir, jalanan tergenang air, dan bikin macet lalu-lintas ya jadinya “wajar-wajar” saja.
Kok sampai sekarang Jakarta masih saja diwarnai berbagai persoalan yang ditimbulkan oleh namanya genangan, banjir, atau apa pun istilahnya?

Dulu, yang namanya Jakarta, semasa masih berjuluk Batavia, hanya meliputi wilayah di dekat muara Kali Ciliwung.
Tapi sekarang, seiring dengan perluasan wilayah kota – ke Barat, Timur, dan Selatan – dan perkembangan jumlah penghuni dan penduduk dari segala pelosok tanah air, luas Jakarta sudah membengkak jadi berapa kilometer persegi?
Berapa pula jadinya jumlah sungai yang masuk menjadi bagian dari kawasannya?
Menurut catatan yang ada, kali besar dan kecil yang memotong wilayah ibu kota yang luasnya 637,33 km2 itu sekarang ada 13 buah.
Kecuali K. Sekretaris dan K. Cideng, semuanya berhulu di dataran tinggi di Provinsi Jawa Barat, macam K. Mookevart, K. Angke, K. Pesanggrahan, K. Grogol, K. Krukut, K. Ciliwung, K. Cipinang, K. Sunter, K. Buaran, dan K. Cakung.
Wajar ‘kan kalau Jakarta lalu menjadi rawan oleh ancaman banjir? Keniscayaan itu baru dari sisi banyaknya sungai dan anak-anaknya.
Belum lagi mengingat kenyataan bahwa topografi kawasan Jakarta memang menempati wilayah yang ceper, rata, atau berupa dataran rendah.
Apalagi 40 persen wilayah di DKI Jakarta ketinggian lokasinya memang berada di bawah atau sama dengan permukaan air laut.

Ciri alami Kota Jakarta dengan banyaknya sungai yang mengalir, topografi yang berupa dataran rendah dan kawasan pantai dengan pasang surut air lautnya, ditambah lagi curah hujan yang tinggi (1.750 – 2.500 mm per tahun) itu, memang sudah dari sononye, orang Betawi bilang.
Itu semua menyodorkan potensi kerawanan banjir di sejumlah lokasi. Kawasan yang sudah rawan banjir itu lalu diperbesar lagi kerawanannya oleh ulah manusia penghuninya.
Sejalan dengan gerak cepatnya kemajuan di segala sisi kehidupan, masyarakat Kota Jakarta membutuhkan lahan.

Entah itu untuk perkantoran, permukiman, pembangunan prasarana jalan dan sebagainya, yang semuanya merupakan suatu bentuk pelapisan dengan sesuatu bahan yang sifatnya tidak tembus air hujan.
Itu semua menyebabkan berkurangnya fungsi tanah sebagai resapan air atau daerah imbuh air (recharge area).
Artinya, setiap hujan yang jatuh di kawasan itu (biasa disebut hujan lokal) sebagian besar tidak meresap ke dalam tanah, tetapi mengalir sebagai limpasan (runoff), dan akan mengisi dan memperbesar debit saluran atau aliran sungai.
