Warga Bantargebang Bekasi Mandi Sampah
Puluhan warga yang tinggal di Kecamatan Bantargebang berunjuk rasa di Jalan Raya Ahmad Yani, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Selasa (5/1) sian
Editor:
Sugiyarto
TRIBUNNEWS.COM - Puluhan warga yang tinggal di Kecamatan Bantargebang berunjuk rasa di Jalan Raya Ahmad Yani, Kecamatan Bekasi Selatan, Kota Bekasi, Selasa (5/1) siang.
Mereka menolak sampah Pemprov DKI Jakarta yang dibuang ke Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang. Alasannya, keberadaan sampah menimbulkan berbagai masalah.
"Tumpukan sampah sangat mengganggu kenyamanan warga. Karena menimbulkan penyakit, pencemaran udara dan lingkungan dengan radius 5 km," ujar Husein (40) selaku Koordinator Aksi di lokasi.
Tidak hanya berorasi dengan suara lantang, massa juga menggelar aksi teaterikal dengan mandi sampah yang diambil dari TPST Bantargebang.
Sampah itu dikumpulkan di sebuah kolam mini, lalu dua orang masuk ke dalam sebuah tong besar.
Keduanya diletakkan di atas tumpukan sampah di kolam tersebut. Aksi teaterikal itu mengisyaratkan bahwa warga terperangkap oleh sampah milik DKI
Sementara massa yang lain memegang spanduk yang berisi penolakan adanya TPST Bantargebang.
Adapun kalimatnya berisi 'Warga Bekasi Terkubur Sampah DKI' dan 'Tutup TPST Bantargebang Sekarang Juga'.
Husein melanjutkan, bukan hanya mencemarkan lingkungan sekitar. Keberadaan tempat sampah juga memberikan image (gambaran) yang buruk terhadap Kota Bekasi.
Terutama wilayah Kecamatan Bantargebang di mata masyarakat.
"Warga kalau mendengar daerah Bantargebang, pasti yang ada dipikirannya tempat pembuangan sampah. Image itu muncul karena ada TPST di sana," jelasnya.
Menurut dia, DKI Jakarta harus melakukan perbaikan lingkungan di sekitar TPST Bantargebang.
Pasalnya ekosistem di sana sudah tak baik bagi masyarakat. Dia mencontohkan, air tanah di sana tidak layak diminum atau dipakai keperluan mandi karena telah mengandung berbagai bakteri penyakit.
Dia mengungkapkan, TPST ini sudah dibuat sejak 1989 atau 26 silam. Saat itu masih dinamakan tempat pembuangan akhir (TPA) Bantargebang.
Tiap harinya, DKI Jakarta membuang sampah sekitar 6.000-6.800 ton per hari ke lahan TPST Bantargebang yang luasnya 110,3 hektar.
Tumpukan sampah itu juga mengeluarkan air lindi alias air sampah yang mengeluarkan aroma busuk.
Seharusnya, kata dia, air lindi yang berasal dari lima zona pembuangan sampah dialirkan melalui pipa yang ditanam di bawah tanah. Kemudian air lindi dialirkan ke kolam pengolahan yang disebut instalasi pengolahan air sampah (IPAS).
Dari IPAS semestinya diproses dengan air ke dalam kolam ekualisasi (inlet) untuk penjernihan.
Selanjutnya, air lindi dibuang ke luar tempat pembuangan sampah dengan mutu air yang tidak tercemar.
"Sehingga air lindi yang dibuang dari IPAS TPST Bantargebang, sebelum dibuang ke luar, baku mutu airnya mencapai 2000-4000 mg/L, sesuai Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No 51 Tahun 1995. Tapi ini tidak, justru mutu airnya lebih besar," jelasnya.
Husein menambahkan, uang tipping fee (kompensasi sampah) sebesar Rp 300.000 per triwulan yang diterima warga juga tak sebanding dengan dampak lingkungannya.
Asisten Administrasi Umum di Pemerintah Kota Bekasi, Dadang Hidayat mengatakan, koordinasi revisi addendum dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah dua kali berjalan.
"Kemarin (Selasa (5/1) kita juga sudah kordinasi lagi terkait addendum TPST Bantargebang," ujarnya.
Adanya penolakan warga atas sampah DKI Jakarta untuk dibuang ke TPST Bantargebang, Dadang mempertanyakan keabsahan identitas pengunjuk rasa.
Menurutnya, tidak mungkin warga Bantargebang yang melakukan demontrasi.
"Soal demo penolakan itu hak siapapun. Tapi apakah benar demo itu dilakukan warga di sekitar Bantargebang," kata Dadang.