Kamis, 2 Oktober 2025

Marak Perceraian di Jakarta, Ini 4 Penyebabnya

Jakarta sebagai kota megapolitan menimbulkan berbagai fenomena sosial salah satunya perceraian.

Editor: Hasanudin Aco
solomonslaw.co.uk
Ilustrasi. 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Angka perceraian di kota-kota besar, khususnya di DKI Jakarta terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Hal itu tampak dari hasil penelusuran Warta Kota di Pengadilan Agama di Jakarta, dimana hingga Agustus 2015 perceraian mengalami kenaikan rata-rata 20 persen.

Pengamat sosial Universitas Indonesia, Devie Rahmawati, mengaku tidak terkejut dengan adanya peningkatan angka cerai di Jakarta.

Menurutnya, Jakarta sebagai kota megapolitan menimbulkan berbagai fenomena sosial salah satunya perceraian.

Berdasarkan analisanya, setidaknya ada empat faktor yang bisa memicu terjadinya perceraian masyarakat yang tinggal di Jakarta atau di kota-kota satelitnya namun mereka bekerja di Jakarta.

Pertama, karena adanya pergeseran sosial dan budaya.

“Masyarakat perkotaan seakan sudah menganggap cerai sebagai hal yang biasa karena mereka pikir itu sah secara agama dan secara hukum. Esensi pernikahan sebagai ikatan suci terkadang dilupakan karena dikalahkan oleh ego pribadi. Misalnya, seseorang yang tidak merasa cocok dengan pasangan, memilih untuk bercerai tanpa lebih dulu berkonsultasi kepada keluarga besarnya,” jelasnya kepada Warta Kota, Selasa (6/10/2015).

“Ini jauh berbeda dengan apa yang terjadi di pedesaan, dimana masyarakatnya mencoba untuk menghindari perceraian. Bahkan di daerah tertentu status janda atau duda karena cerai bisa menjadi bahan perbincangan orang banyak,” imbuh Devie.

Faktor kedua, soal gaya hidup sebagian besar masyarakat perkotaan.

“Faktor ekonomi menjadi salah satu alasan terbesar perempuan mengajukan gugatan cerai. Dalam hal ini perlu dicermati, apakah benar pasangan itu kekurangan secara ekonomi.”

"Bisa jadi, ini hanya karena soal gaya hidup atau bahkan keinginan untuk hidup gaya. Jadi, sebenarnya si suami sudah bisa mencukupi kebutuhan primer. Hanya saja, didorong oleh gaya hidup yang tinggi sang istri, suami dianggap gagal mencukupi kebutuhan sekunder seperti mobil, perhiasan, gadget mewah dan sebagainya.”

Faktor ketiga, kata Devie, singkatnya waktu berkumpul bersama keluarga akibat rutinitas masyarakat perkotaan yang cukup tinggi. Dalam hal ini Devie menyoroti peran pemerintah untuk menyediakan transportasi massal atau menekan angka kemacetan di Jakarta.

“Dengan kemacetan yang selalu terjadi, orang-orang berangkat kerja pagi buta agar tidak terlambat kerja. Saat pulang, mereka terjebak macet dan tidak sedikit yang sampai rumah pada tengah malam khususnya mereka yang tinggal di kota-kota satelit seperti Depok, Tangerang, Bekasi atau Bogor.“

“Belum lagi mereka yang memiliki side job di akhir pekan karena didorong tingkat kebutuhan hidup yang tinggi. Jadi, sangat minim waktu buat berkumpul dengan keluarga bahkan rentan terjadi kesalahfahaman antar-pasangan. Hal ini bisa mengganggu keharmonisan rumah tangga dan bisa berujung ke perceraian,” katanya.

Teknologi

Halaman
12
Sumber: Warta Kota
Rekomendasi untuk Anda
AA

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved