Selasa, 30 September 2025

Pilpres 2024

MK Tolak Gugatan Ulang Syarat Usia Capres-Cawapres, Ini Respons Kuasa Hukum Pemohon Hingga Gerindra

MK menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana.

Tribunnews.com/ Ibriza Fasti Ifhami
Ketua MK Suhartoyo, dalam persidangan di gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023). MK menolak uji ulang syarat batas minimal usia capres-cawapres yang diajukan mahasiswa Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (Unusia), Brahma Aryana. 

Brahma menilai, frasa 'yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah' inkonstitusional karena hanya berdasarkan 3 suara hakim konstitusi dari 5 suara hakim konstitusi yang dibutuhkan.

Tak hanya itu, Braha kemudian mengatakan, Putusan 90/PUU-XXI/2023 telah membuka peluang bagi setiap warga negara yang pada usia terendah 21 tahun dapat mendaftarkan diri sebagai Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden sepanjang sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui Pemilu termasuk pemilihan kepala daerah.

"Bahwa hal tersebut tentunya dapat mempertaruhkan nasib keberlangsungan negara Indonesia," ucapnya.

Dalam petitum, Pemohon meminta Mahkamah mengabulkan permohonannya, yang meminta capres atau cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman menjadi kepala daerah di tingkat provinsi, yakni gubernur atau wakil gubernur.

Catatan Kuasa Hukum Pemohon

Kuasa hukum Pemohon Perkara 141/PUU-XXI/2023, Viktor Santoso Tandiasa menyampaikan beberapa catatan terkait gugatannya yang ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).

Viktor menilai, Putusan 141 tersebut nantinya akan menimbulkan persoalan.

Sebab, ia mengatakan, MK melalui Putusan 141 yang diajukan pihaknya itu mengakui Pasal 17 ayat (5) UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman itu bisa diterapkan ke MK. Sedangkan, Pasal 17 ayat (6) dan (7) tidak bisa.

Adapun Pasal 17 ayat (5) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman pada pokoknya mengatur, sebagai berikut:

"Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan langsung atau tidak langsung dengan perkara yang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri maupun atas permintaan pihak yang berperkara," demikian bunyi Pasal 17 ayat (5) UU Kekuasaan Kehakiman.

Pasal 17 ayat (6) UU 48/2009 pada pokoknya mengatur, "dalam hal terjadi pelanggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5) putusan dinyatakan tidak sah"

"Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim yang berbeda" bunyi Pasal 17 ayat (7).

"Artinya kalau ada hakim yang punya konflik kepentingan harus mengundurkan diri, tapi itu kemudian dibiarkan artinya dimaklumi, atau bahkan dianggap biasa, karena putusan MK sifatnya final dan mengikat," ucap Viktor, saat ditemui usai sidang pembacaam putusan di gedug MK RI, Jakarta Pusat, pada Rabu (29/11/2023).

Viktor mempertanyakan, bagaimana MK dapat meyakinkan independensinya nanti saat memutus perkara hasil pemilihan umum (PHPU) 2024.

"Apakah kemudian ini (konflik kepentingan hakim) akan dibiarkan juga terjadi pelanggaran-pelanggaran seperti itu, sehingga menjadi khawatir karena nanti MK bisa menempatkan diri pada kecurangan yang bersifat TSM, terstruktur, sistematis dan masif yang sebelumnya berlaku hanya ke KPU, ini juga nanti bisa dikaitkan bisa juga untuk MK, karena ini sifatnya terstruktur," ungkap Viktor.

Tak hanya itu, Viktor menjelaskan, dalam Putusan 141 ini, MK telah mengakui bahwa Putusan 90/PUU-XXI/2023 keliru, karena untuk tingkat wali kota jenjangnya masih sangat jauh dari presiden.

Halaman
1234
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
About Us Help Privacy Policy Terms of Use Contact Us Pedoman Media Siber Redaksi Info iklan