Kenapa Orang Sekarang Gampang Baper? Ada Luka Lama yang Belum Sembuh
Baper atau sifat mudah tersinggung tidak selalu datang tiba-tiba. Ada banyak hal yang membentuknya, bahkan sejak seseorang masih kecil.
Fenomena baper di era digital semakin kentara.
Media sosial, yang awalnya menjadi ruang berbagi dan berkomunikasi, justru bisa menjadi ladang subur bagi kesalahpahaman.
“Di media sosial, orang bebas berinteraksi tanpa konsekuensi langsung. Bahasa tulisan sulit menyampaikan emosi yang sebenarnya, dan penerima pesan bisa menafsirkan berbeda,” ujar Hernita.
Kesalahan tanda baca, penggunaan huruf kapital, atau bahkan nada sarkas yang tidak terbaca di teks bisa memicu reaksi emosional yang berlebihan.
Terlebih, ketika empati berkurang. Seseorang yang tidak terbiasa memahami perasaan orang lain akan lebih mudah merasa tersinggung.
Dan sebaliknya, juga mudah melukai perasaan orang lain tanpa sadar.
Keterampilan Sosial yang Mulai Hilang
Hernita menegaskan, kemampuan berkomunikasi yang baik dan efektif adalah kunci untuk mengurangi risiko baper.
Sayangnya, di banyak lingkungan, keterampilan sosial ini tidak dilatih sejak kecil.
Akibatnya, saat dewasa, seseorang sulit menerima masukan secara positif atau menyampaikan pesan tanpa menyinggung pihak lain.
Budaya juga punya peran penting. Di lingkungan yang tidak terbiasa dengan komunikasi terbuka, komentar to the point sering dianggap kasar, meskipun maksudnya baik.
Hal ini membuat dinamika hubungan, baik di dunia nyata maupun digital, menjadi semakin rentan.
Mengelola Emosi, Menghindari Drama
Mengelola emosi bukan berarti menekan perasaan. Marah, sedih, dan kecewa adalah hal wajar.
Namun, penting untuk mengenali perasaan sendiri sebelum bereaksi, memahami penyebabnya, dan mencari cara menyalurkannya dengan tepat.
Memahami bahwa tidak semua komentar ditujukan untuk merendahkan bisa membantu kita lebih bijak dalam merespons.
Begitu pula, sebelum memberi komentar, penting untuk mempertimbangkan bagaimana orang lain akan menerimanya.
Fenomena baper mungkin terdengar ringan, tapi jika dibiarkan, ia bisa merusak hubungan, menurunkan kepercayaan diri, bahkan memicu konflik berkepanjangan.
Di era media sosial yang serba cepat ini, keterampilan mengelola emosi dan berkomunikasi dengan empati bukan lagi pilihan, tapi kebutuhan.
EQ, Faktor Penting yang Tak Terlihat di Rapor tapi Menentukan Masa Depan |
![]() |
---|
Cara Mengasah Potensi Anak dengan Down Syndrome: Hindari Stigma, Beri Ruang Ekspresi |
![]() |
---|
Apa Itu Inner Child? Psikolog Sebut Bisa Saja Kemungkinan Pengaruhi Arya Daru sebelum Tewas |
![]() |
---|
Psikolog Heran Arya Daru Burnout Sebelum Bunuh Diri: Kerja di Kemlu Indonesia Nggak Berat-berat Amat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.