Anak Berkebutuhan Khusus bisa Mandiri dan Berprestasi, Penerimaan Orangtua Merupakan Langkah Awal
Penerimaan kehadiran buah cinta yang spesial diperlukan untuk melihat bahwa setiap anak memiliki bakat dan minat.
Laporan Wartawan Wartakotalive.com, Lilis Setyaningsih
TRIBUNNEWS.COM - Semua anak unik dan istimewa. Termasuk ketika dianugerahi anak berkebutuhan khusus atau disabilitas.
Penerimaan kehadiran buah cinta yang spesial diperlukan untuk melihat bahwa setiap anak memiliki bakat dan minat.
Sebagai individu penyandang disabilitas bisa berprestasi, mandiri, berkarya, dan berdaya dikehidupan nyata.
Psikolog Maria Hardono, M.Psi mengatakan, sikap orangtua menerima kondisi anak menjadi langkah awal ketika dianugerahi anak berkebutuhan khusus.
Baca juga: Cerita Penyandang Disabilitas Taklukan Gunung Marapi, Merangkak Senti Demi Senti hingga ke Puncak
“Awalnya harus punya penerimaan. Kalau belum menerima, akan susah karena akan susah mau berbuat apa-apa,” kata Maria saat menjadi pembicara di IG live Capcipcus.
Seringkali tidak mudah untuk tahap penerimaan saat mendapat diangnosa berkebutuhan khusus.
Ada tahap-tahapnya, pertama denial (mengingkari),marah, perasaan bersalah lalu menerima.
Ketika memiliki anak berkebutuhan khusus, orangtua yang paling diharapkan bisa memiliki sikap menerima.
Baca juga: Kisah Puji Lestari, Pelukis Disabilitas asal Gunungkidul, Ciptakan Karya dengan Lengan dan Kaki
Dari ayah dan ibunya, biasanya ibu yang paling punya tantangan. Kerap ibu diliputi perasaan bersalah, dan juga paling ditimpa kesalahan oleh nenek kakeknya, mertua, bahkan suaminya sendiri.
Si ibu dianggap paling bertanggungjawab karena yang hamil dan menyusui si buah hatinya.
“Ibu suka baper (bawa perasaan), karena disalahin banyak orang yang membuat penerimaan jadi sulit. Suami sudah menerima, tetangga dan teman ngomongin seperti kata-kata ‘kasihan ya punya anak ABK. Sudah menerima, mendengar kata-kata itu bisa jadi down lagi,” tutur dosen psikologi di Unika Atmajaya ini.
Menurut Maria kebanyakan bisa cepat proses penerimaan juga didukung lingkungan yang juga mendukung.
“Support dari lingkungan sangat membantu terutama keluarga inti. Satu kalimat yang ngejudge, nyinyir bisa bikin ibu nangis berhari-hari, dan bisa membuat trauma. Kalau parah perlu penanganan professional,” tegasnya lagi.
Ketika orangtua sudah sampai ke tahap penerimaan, orangtua harus tahu tahapan perkembangan tiap anak.
Tentunya tahapan perkembangan anak berkebutuhan khusus dan yang tidak berbeda.
Sebaiknya orangtua tidak focus pada tumbuh kembang yang disesuaikan usia, tapi tahapannya saja.
Anak yang mencapai di satu tahap ini harus progress menjadi naik satu tahap begitu seterusnya. Selanjutnya cari tahu bagaimana mencapai tahap selanjutnya itu.
Bila tahapan berdasarkan usia, tahapannya seringkali tertinggal.
Kemandirian juga harus diajarkan bagaimana memakai baju sendiri, sepatu sendiri, makan sendiri.
“Milestone anak berkebutuhan khusus bukan berdasarkan umur, karena banyak yang terlambat. Yang jadi patokan anak berada di tahap mana dan harus naik ke mana. Setelah mencari informasi dan bisa bertemu dengan professional untuk mencari jalan pintasnya,” ujar Maria.
Mencari informasi sebanyak mungkin berkaitan dengan jenis kebutuhan khusus si buah hati juga jadi hal penting.
Ketika dokter atau ahli mendiagnosa, anak autisme misalnya, selain berkonsultasi ke ahli, orangtua juga harus membekali diri dengan pengetahuan soal autisme, cirinya bagaimana, harus diterapi apa, apa hal-hal khusus sepertialergi.
Pengetahuan itu lalu dikombinasikan dengan kondisi perkembangan anak.
Perlu juga dipahami bahwa orangtua jangan hanya melihat kekurangan pada anak berkebutuhan khusus.
Seringkali, anak-anak ini juga memiliki kemampuan lain yang lebih. Untuk mendapatkan bakat dan minat yang bisa dikembangkan, orangtua harus banyak menghabiskan banyak waktu bersama anak dan peka.
Dengan menghabiskan waktu, orangtua akan tahu mana yang anak sukai dan mana yang tidak. Selain itu juga gunakan dari ‘kacamata anak’.
Mana yang anak suka mana yang tidak. Terutama jangan memaksakan keinginan orangtua.
“Misalnya orangtua yang suka musik, belum tentu anaknya suka musik. Begitu juga sebaliknya. Semakin banyak menghabiskan waktu dan peka, lama-lama orangtua akan melihat mana bakat dna minat anak untuk dikembangka,” ujar Maria.