Lestari Moerdijat: Bangun Kemandirian dan Keberlanjutan Energi demi Kemakmuran yang Merata
Upaya membangun kemandirian dan keberlanjutan energi harus diwujudkan di tengah dinamika ketersediaan sumber mineral dan energi di tanah air
Diakui Sugeng, energi yang bersumber dari fosil sudah menjadi masalah, sehingga tidak ada alasan lagi untuk tidak beralih ke pemanfaatan energi baru dan terbarukan.
Saat ini, ungkap Sugeng, Komisi VII DPR RI sedang memfinalisasi undang-undang energi baru terbarukan, merevisi undang-undang ketenagalistrikan dan menyusun rancangan undang-undang Migas.
Secara umum, tegas Sugeng, paradigma kebijakan energi kita adalah melepaskan ketergantungan terhadap energi fosil.
Ketua Umum Purnomo Yusgiantoro Center (PYC),
Filda C. Yusgiantoro mengungkapkan, saat ini ada empat megatrend yang mempengaruhi dunia yaitu dampak ekonomi di Asia sangat luar biasa, persaingan dalam mengelola sumber daya alam, pemanfaatan teknologi dan perubahan iklim.
Saat ini, ujar Filda, terjadi tren peningkatan pemanasan global ketika terjadi peningkatan produksi CO2 yang menyebabkan suhu bumi naik.
Diperkirakan, tambah dia, dari rentang waktu 2000-2100 bila tidak ada upaya apa pun, suhu bumi akan meningkat 2,9 derajat Celcius.
Diakui Filda, progres realisasi SDGs sektor energi Indonesia stagnan, sehingga membutuhkan kualitas SDM yang lebih baik di sektor energi.
Filda juga menilai, capaian bauran energi baru terbarukan di Indonesia masih jauh dari target. Pemanfaatan energi di Indonesia saat ini, tambah dia, bersumber dari gas bumi (23%), batu bara (26%), minyak bumi (46%) dan energi baru terbarukan (5%).
Tata kelola kebijakan energi, tegas Filda, memerlukan perubahan paradigma terkait kesadaran masyarakat dalam melakukan diversifikasi dan konversi energi.
Direktur Eksekutif Center for Energy Policy, Muhammad Kholid Syeirazi mengungkapkan pada rentang waktu 2000-2050 energi fosil masih dominan, masyarakat dunia ingin membalikkan dominasi itu dengan mengutamakan energi baru terbarukan.
Pemanfaatan energi baru terbarukan 23% pada 2025, menurut Kholid, adalah target yang mustahil diwujudkan.
Karena, jelas dia, untuk merealisasikan transisi energi dibutuhkan sejumlah upaya antara lain pengembangan energi baru terbarukan, melakukan pensiun dini PLTU, pemanfaatan hidrogen.
Tantangan untuk mewujudkan transisi energi, jelas dia, juga besar karena ketiadaan dana transisi, teknologi green energy mahal, harga jual produk green energy juga tinggi dan ekosistem green energy juga belum memadai.
Kholid mengusulkan adanya petroleum fund di luar APBN yang bisa dimanfaatkan untuk mendanai proses transisi dan diversifikasi ke energi hijau.
Anggota Dewan Pengarah BRIN, Tri Mumpuni berpendapat bahwa bangsa kita adalah bangsa yang tidak mau belajar dalam menyikapi pemanfaatan energi hijau.
Sejak hampir 30 tahun lalu, ujar Tri Mumpuni, sudah mengusulkan agar sebagian hasil dari penjualan bahan bakar fosil disisihkan untuk pengembangan energi hijau.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of

Follow our mission at www.esgpositiveimpactconsortium.asia
Badan Pengkajian MPR RI Soroti Tantangan Demokrasi di Era Digital |
![]() |
---|
Eddy Soeparno: Tangani Banjir dan Krisis Iklim Butuh Kolaborasi, Bukan Polemik |
![]() |
---|
Lestari Moerdijat Tekankan Urgensi Kepercayaan Publik dalam Penanganan Kasus Kekerasan |
![]() |
---|
Taufik Basari: TAP MPR Nomor 1 Tahun 2003 Masih Kontekstual untuk Demokrasi dan Berantas KKN |
![]() |
---|
Wakil Ketua MPR: Upaya Mewujudkan Peningkatan Kesehatan Fisik dan Mental Masyarakat Harus Seimbang |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.