Jumat, 3 Oktober 2025

Top Rank

10 Penyakit yang Belum Bisa Disembuhkan: Diabetes hingga Sindrom Orang Kaku

Inilah 10 penyakit yang masih belum bisa disembuhkan. Beberapa obat yang ada hanya untuk mengurangi gejalanya saja.

Pexels
DAFTAR PENYAKIT - Ilustrasi seseorang meminum obat diunduh dari Pexels. Inilah 10 penyakit yang masih belum bisa disembuhkan, beberapa obat yang ada hanya untuk mengurangi gejalanya saja. 

TRIBUNNEWS.COM - Seiring berjalannya waktu, dunia kedokteran mengalami kemajuan pesat.

Namun, masih ada sejumlah penyakit yang belum berhasil ditaklukkan.

Beberapa di antaranya tergolong langka, tetapi ada pula yang umum terjadi di seluruh dunia.

Dilansir StarInsider dan Healthline, berikut setidaknya 10 penyakit yang hingga kini belum bisa disembuhkan.

1. Stiff Person Syndrome

Penderita Stiff Person Syndrome atau Sindrom Orang Kaku mengalami kejang yang menyakitkan dan kekakuan hebat pada anggota tubuh serta otot-otot bagian atas.

Kondisi ini merupakan gangguan neurologis autoimun, di mana tubuh menyerang sistem sarafnya sendiri.

Stres, sentuhan, dan kebisingan dapat memicu kejang, yang bisa cukup parah hingga menyebabkan jatuh atau cedera.

Stiff Person Syndrome pertama kali diidentifikasi pada tahun 1956, dan hingga kini belum ada obatnya.

Salah satu figur publik terkenal yang menderita penyakit ini adalah Celine Dion.

2. Diabetes

Diabetes adalah kondisi kronis di mana tubuh tidak dapat memproduksi atau memanfaatkan insulin secara efektif.

Diabetes memengaruhi lebih dari 530 juta orang di seluruh dunia.

Baik diabetes tipe 1 maupun tipe 2 merupakan kondisi seumur hidup yang tidak dapat disembuhkan.

Perawatannya rumit karena melibatkan faktor genetik, respons imun yang tidak terkendali, serta berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup.

Baca juga: Kasus Alzheimer di Indonesia Diprediksi Meningkat, Bagaimana Cara Mencegahnya?  

3. Alzheimer

Alzheimer merupakan gangguan neurologis progresif yang menghancurkan memori serta fungsi mental penting lainnya.

Alzheimer adalah bentuk demensia yang paling umum.

Sedangkan demensia sendiri adalah penurunan fungsi kognitif yang cukup parah sehingga mengganggu kehidupan sehari-hari.

Lebih dari 55 juta orang menderita demensia di seluruh dunia dam 60 hingga 80 persen di antaranya mengidap Alzheimer.

Penyakit Alzheimer dapat ditangani dan diperlambat dengan pengobatan, perubahan gaya hidup, serta aktivitas mental dan fisik.

Namun, hingga kini belum ada obatnya.

4. Misophonia

Suara seperti menyeruput, mengunyah, atau mengetik dapat membuat penderita Misophonia sangat terganggu.

Mereka mungkin mengalami reaksi emosional maupun fisik yang kuat terhadap suara-suara tersebut.

Seseorang dapat panik, merasa cemas, atau menjadi jengkel, dengan gejala seperti detak jantung yang cepat dan keringat berlebih.

Namun, bukan kerasnya suara yang memicu reaksi pada sebagian besar pasien, melainkan jenis kebisingannya.

5. HIV/AIDS

HIV (Human Immunodeficiency Virus) menyerang sistem kekebalan tubuh dan merusaknya secara parah.

Tubuh kemudian menjadi sangat rentan terhadap infeksi dan penyakit yang mengancam jiwa.

Penyakit ini dapat dikendalikan secara efektif dengan terapi antiretroviral, sehingga pasien dapat menjalani kehidupan yang mendekati normal.

Namun, terapi ini bukanlah obat mujarab, karena HIV dapat kembali bereplikasi jika pengobatan dihentikan.

Baca juga: Supermodel Bella Hadid Lemas Tak Berdaya Diinfus karena Lyme Disease Penyakit yang Disebabkan Kutu

6. Penyakit Parkinson

Penyakit Parkinson memengaruhi keseimbangan, kekuatan genggaman, dan koordinasi gerakan.

Penyakit ini disebabkan oleh kerusakan sel-sel di bagian otak yang berfungsi mengendalikan gerakan halus.

Parkinson adalah kondisi kompleks dengan beberapa gejala lain, seperti fluktuasi suasana hati, penurunan kognitif, dan gangguan tidur.

Metode pengobatan saat ini efektif untuk mengatasi beberapa gejala, tetapi belum dapat mengatasi masalah inti yang mendasarinya.

7. Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS)

Kondisi neurodegeneratif ini memengaruhi neuron di otak dan sumsum tulang belakang.

Neuron-neuron tersebut mengalami degenerasi seiring waktu, yang menyebabkan hilangnya kemampuan mengendalikan otot.

Dikenal juga sebagai penyakit Lou Gehrig, kesadaran publik terhadap penyakit ini meningkat berkat kampanye seperti Ice Bucket Challenge.

Perkembangan ALS dapat diperlambat dengan pengobatan, tetapi hingga kini belum ada obatnya.

8. Lupus

Lupus adalah kondisi autoimun di mana sistem kekebalan tubuh menyerang organ dan jaringan sehat.

Lupus dapat memengaruhi kulit, sendi, ginjal, jantung, paru-paru, otak, dan organ lainnya.

Penyakit ini dikenal sulit dideteksi karena gejalanya mirip dengan penyakit lain.

Perawatan dapat meminimalkan kerusakan organ dan bahkan menyebabkan remisi, tetapi lupus tidak dapat disembuhkan.

9. Skizofrenia

Skizofrenia menyebabkan delusi dan halusinasi, serta memengaruhi kondisi emosional dan perilaku seseorang.

Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat menimbulkan gangguan serius pada bicara, konsentrasi, daya ingat, dan kemampuan mengambil keputusan.

Meskipun belum dapat disembuhkan sepenuhnya, diagnosis dini, pengobatan, dan terapi dapat meningkatkan kualitas hidup pasien secara signifikan.

Baca juga: Transplantasi Ginjal Jadi Harapan Baru, Butuh Regulasi hingga Kolaborasi Lintas Disiplin Medis 

10. Penyakit Ginjal Kronis (PGK)

Penyakit Ginjal Kronis (PGK) adalah kondisi progresif di mana ginjal secara bertahap kehilangan fungsinya.

Ginjal yang rusak tidak dapat menyaring darah secara efektif, sehingga menyebabkan penumpukan limbah dalam tubuh.

PGK merupakan masalah kesehatan global yang serius, memengaruhi lebih dari 700 juta orang di seluruh dunia.

Deteksi dini dan perawatan yang tepat dapat mengurangi dampaknya secara signifikan, tetapi kerusakan ginjal tidak dapat dipulihkan.

Upaya untuk Benar-benar Bisa Menyembuhkan HIV

HIV/AIDS merupakan salah satu penyakit yang paling dicari obatnya.

Mengutip The Conversation, selama tiga dekade terakhir telah terjadi kemajuan luar biasa dalam pengobatan dan pencegahan HIV.

Saat ini, HIV merupakan infeksi yang dapat ditangani.

Seseorang dengan HIV yang rutin mengonsumsi obat sebelum sistem kekebalan tubuhnya melemah dapat berharap hidup hampir sama lamanya dengan orang tanpa HIV.

Obat yang sama juga mencegah penularan virus ke pasangan seksual.

Meski begitu, hingga kini masih belum ada vaksin HIV yang efektif.

Namun, tersedia obat yang sangat manjur untuk mencegah infeksi HIV bagi orang tanpa HIV tetapi berisiko tinggi tertular.

Obat-obatan ini dikenal sebagai profilaksis pra-pajanan atau PrEP.

PrEP tersedia dalam bentuk pil yang diminum setiap hari atau sesuai kebutuhan.

Baru-baru ini, sebuah suntikan yang mampu melindungi dari HIV selama enam bulan telah disetujui di Amerika Serikat.

Meskipun pengobatan HIV dan PrEP sangat efektif, para peneliti masih mencari pengobatan yang benar-benar bisa menyembuhkan HIV.

Sebab, akses terhadap obat HIV dan PrEP bergantung pada ketersediaan klinik kesehatan, tenaga medis, serta sarana untuk menyediakan dan mendistribusikan obat tersebut.

Di sejumlah negara, infrastruktur ini masih rapuh.

Misalnya, pada awal tahun ini, pembubaran program bantuan luar negeri USAID oleh Presiden AS Donald Trump mengancam pasokan obat HIV ke banyak negara berpenghasilan rendah.

Hal ini menunjukkan betapa rentannya pendekatan pengobatan dan pencegahan yang ada saat ini.

Pasokan obat HIV yang aman dan berkelanjutan sangat dibutuhkan. Tanpanya, nyawa akan melayang dan jumlah kasus baru HIV akan meningkat.

Contoh lain adalah suntikan PrEP enam bulanan yang baru saja disetujui di AS.

Obat ini berpotensi besar mengendalikan HIV jika tersedia dan terjangkau di negara-negara dengan beban HIV tertinggi.

Namun, prospeknya di negara-negara berpenghasilan rendah masih tidak pasti.

Padahal, menurut sejumlah peneliti, obat ini sebenarnya dapat diproduksi dengan biaya jauh lebih murah dibanding harga saat ini.

Jadi, meskipun obat HIV dan PrEP merupakan terobosan penting, sistem layanan kesehatan yang rapuh dan tingginya biaya obat membuat dunia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan keduanya untuk mengakhiri pandemi HIV global.

Karena itulah, para ilmuwan tetap perlu mempertimbangkan pilihan lain.

Orang-orang yang “Sembuh” dari HIV

Di seluruh dunia, setidaknya tujuh orang dilaporkan “sembuh” dari HIV – atau setidaknya mengalami remisi jangka panjang.

Artinya, setelah menghentikan pengobatan, mereka tidak lagi memiliki HIV yang bereplikasi dalam darah selama berbulan-bulan hingga bertahun-tahun.

Dalam setiap kasus, penderita HIV juga mengidap kanker yang mengancam jiwa sehingga membutuhkan transplantasi sumsum tulang.

Mereka dipasangkan dengan donor yang memiliki variasi genetik tertentu yang membuat sel-sel sumsum tulang tidak memiliki reseptor HIV.

Setelah transplantasi, penerima menghentikan pengobatan HIV dan virus tetap tidak terdeteksi.

Sel imun baru yang terbentuk dari sumsum tulang donor tidak memiliki reseptor HIV, sehingga virus tidak bisa menginfeksi dan bereplikasi.

Namun, variasi genetik ini sangat langka.

Selain itu, transplantasi sumsum tulang berisiko tinggi dan membutuhkan banyak sumber daya.

Karena itu, meski strategi ini berhasil pada segelintir orang, cara ini bukan solusi yang dapat diterapkan secara luas untuk menyembuhkan HIV.

Peneliti masih perlu terus mencari pendekatan lain, termasuk penelitian dasar di laboratorium.

Terobosan-Terobosan

Pengobatan HIV saat ini bekerja dengan menghentikan replikasi virus yang merusak sistem kekebalan.

Namun, ada bagian-bagian tubuh tempat HIV bisa “bersembunyi” sehingga tidak terjangkau obat-obatan.

Jika pengobatan dihentikan, HIV laten ini akan keluar dari persembunyian dan kembali bereplikasi, merusak sistem kekebalan serta menimbulkan penyakit terkait HIV.

Salah satu pendekatan adalah memaksa HIV yang tersembunyi tersebut keluar ke permukaan agar dapat ditargetkan obat.

Strategi ini disebut “kejut dan bunuh”.

Contohnya, penelitian di Australia baru-baru ini dilaporkan sebagai “terobosan” dalam pencarian obat HIV.

Para peneliti di Melbourne mengembangkan nanopartikel lipid – bola lemak kecil – yang membungkus RNA pembawa pesan (mRNA) untuk dikirimkan ke sel darah putih yang terinfeksi.

Nanopartikel ini membuat sel-sel tersebut mengekspresikan HIV yang sebelumnya bersembunyi.

Secara teori, hal ini memungkinkan sistem kekebalan atau obat-obatan HIV untuk menargetkan virus tersebut.

Temuan ini merupakan langkah penting, tetapi masih dalam tahap uji laboratorium.

Begitu pula dengan berbagai hasil penelitian lain yang kerap digembar-gemborkan sebagai kemajuan menuju penyembuhan HIV.

Diperlukan penelitian lebih lanjut mengenai keamanan dan efektivitas sebelum bisa diuji dalam uji klinis pada manusia.

Uji coba semacam itu dimulai dalam skala kecil dan biasanya memakan waktu bertahun-tahun.

Langkah ini, meski lambat dan mahal, tetap penting.

Setiap pengobatan di masa depan harus berteknologi rendah agar bisa diterapkan dan terjangkau di negara-negara berpenghasilan rendah.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Rekomendasi untuk Anda

Berita Terkini

© 2025 TribunNews.com, a subsidiary of KG Media. All Right Reserved