Kemenkes: Penambahan Makanan Pada Menu Balita untuk Mencegah Anemia
Kemenkes dorong pangan fortifikasi cegah anemia defisiensi besi pada balita, utamanya usia 6–24 bulan yang rawan kekurangan zat besi.
Penulis:
Wahyu Aji
Editor:
Glery Lazuardi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kementerian Kesehatan menyoroti pentingnya penambahan makanan fortifikasi dalam menu harian balita sebagai langkah pencegahan anemia defisiensi besi (ADB).
Upaya ini menyasar anak usia 6 hingga 24 bulan yang rentan mengalami kekurangan zat besi sejak dini.
Menurut Direktur Pelayanan Kesehatan Keluarga Kementerian Kesehatan dr. Lovely Daisy, MKM, masih ditemukan balita di Indonesia mengalami anemia.
“Hampir seperempat dari balita kita mengalami anemia,” kata dalam seminar kesehatan yang diselenggarakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta (FKM UMJ) bersama Majelis Kesehatan Pengurus Pusat ‘Aisyiyah (Makes PPA), Jumat (16/52025).
Baca juga: WHO Rilis Pedoman Baru Cegah Kehamilan Remaja untuk Tingkatkan Kesehatan Anak Perempuan
Prevalensi Anemia Balita Masih Tinggi
Dia mengungkapkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2024 menyebutkan prevalensi anemia pada anak 0-4 tahun sebanyak 23,8 persen.
Potensi kekurangan zat besi pada anak mulai terjadi pada usia 6 bulan.
Menurut dia, tingginya angka ADB pada balita salah satunya terungkap setelah pelaksanaan Program Kesehatan Gratis (PKG) Kemenkes yang baru berjalan di awal tahun ini. Kata dia, lebih 1000 lebih anak di bawah usia dua tahun ditemukan mengalami ADB.
Bahkan, dia melanjutkan, permasalahan ADB menjadi salah satu dari 5 gangguan kesehatan terbesar pada anak selain permasalahan gigi, gizi hingga keterlambatan perkembangan anak.
“Kita temukan 1000 lebih itu balita 2 tahun dengan anemia Ini prevalensinya lumayan cukup tinggi sebenarnya,” ucap dr. Lovely.
dr. Lovely pun meyakini, dengan terus berjalannya PKG, berbagai gangguan kesehatan yang terjadi pada balita dapat diketahui. Dengan begitu, tindakan intervensi dapat dilakukan lebih cepat.
“Karena ini [PKG] baru, jadi masih sedikit. Nanti setelah ini terus berjalan, mudah-mudahan semua nanti bisa kita lakukan pemeriksaan sehingga intervensinya juga bisa kita antisipasi dengan baik,” ujar dr. Lovely.
Peran Pangan Fortifikasi untuk Cegah ADB
Sementara itu, Dokter spesialis anak, Dr.dr. T.B Rachmat Sentika, SpA, MARS, mengatakan sudah sebaiknya perhatian terhadap pemenuhan zat besi tidak hanya fokus pada remaja putri dan ibu hamil, namun juga pada balita, terutama usia 6 sampai 24 bulan.
Sebab, kekurangan mikronutrien rentan terjadi pada usia tersebut.
“Upayakan anak itu mengonsumsi pangan yang difortifikasi, makanan-makanan fabrikasi yang memang diperkaya dengan vitamin dan zat gizi mikro,” kata Rachmat Sentika.
Dia menjelaskan, pangan fortifikasi biasanya ditambahkan vitamin, mineral, dan zat gizi mikro lainnya yang diperlukan untuk banyak fungsi tubuh. Sebab, tubuh tidak dapat membuat mikronutriennya sendiri.
Karena itu, kata dia, mikronutrien harus berasal dari makanan sehat yang dikonsumsi. Di antara pangan yang difortifikasi yang saat ini umum dikonsumsi masyarakat adalah tepung terigu, sereal, roti gandum dan susu.
Lebih lanjut, ia mengatakan banyak jenis pangan fortifikasi yang mudah di temui di sekitar kita yang seharusnya dapat menjadi sumber pemenuhan gizi anak.
“Edukasi tentang makanan-makanan kaya gizi ini sudah ada dalam buku KIA, jadi buku KIA yang dibawa saat ke Posyandu itu bukan hanya untuk mengisi tinggi badan dan berat badan anak, tapi juga ada banyak informasi tentang makanan kaya gizi untuk ibu hamil dan balita,” kata Rachmat Sentika.
Baca juga: HaloAnak Permudah Akses Konsultasi Kesehatan Anak dengan Promo Konsultasi Gratis
Aisyiyah Siap Bergerak Cegah Anemia Balita
Wakil Ketua Majelis Kesehatan PP Aisyiyah, Dra. Chairunnisa, M.Kes. mengaku prihatin dengan tingginya angka risiko ADB pada balita Indonesia.
Dia menyebut permasalahan ADB tidak boleh dibiarkan begitu saja dan harus menjadi perhatian bersama.
“Satu dari tiga balita Indonesia itu berisiko untuk mengalami ADB. Fakta ini tentu tidak bisa kita abaikan begitu saja,” kata Dra. Chairunnisa.
Sebagai organisasi wanita yang memang memiliki fokus terhadap isu kesehatan, dia menyebut Aisyiyah dengan jaringannya yang tersebar luas di seluruh Indonesia akan berkomitmen untuk dapat mengatasi ADB.
“Aisyah sebagai organisasi perempuan sebagai penggerak di masyarakat maka kita penting sekali untuk bagaimana kita mempunyai kepedulian untuk mengatasi jangan sampai terjadinya ADB ini secara berkelanjutan,” kata Dra. Chairunnisa. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.