Konflik Palestina Vs Israel
Trump Desak Hamas Bebaskan 20 Sandera Israel, Perlawanan Palestina Beri Jawaban
Sekutu Israel, Presiden Amerika Serikat Donald Trump mendesak Hamas agar bebaskan 20 sandera. Hamas menegaskan mereka siap lanjutkan negosiasi.
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok perlawanan Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas), memberikan jawaban setelah Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump meminta mereka untuk membebaskan 20 sandera Israel.
Sekutu utama Israel itu menulis dalam postingan akun @realDonaldTrump di Truth Social, bahwa agresi di Jalur Gaza akan berakhir jika mereka membebaskan 20 sandera, bukan dua atau lima.
"Beri tahu Hamas untuk SEGERA mengembalikan semua 20 sandera (bukan 2, 5, atau 7!), dan keadaan akan berubah dengan cepat. INI AKAN BERAKHIR!" tulis Trump dalam sebuah unggahan di Truth Social, Rabu (3/9/2025).
Hamas menegaskan kelompok perlawanan Palestina siap untuk kesepakatan tentang Jalur Gaza yang komprehensif, di mana semua sandera Israel akan dibebaskan sebagai imbalan atas pembebasan sejumlah warga Palestina yang ditahan Israel.
Sementara itu, kantor Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu menganggap Hamas tidak serius dalam pernyataannya.
"Sayangnya, ini adalah putaran lain yang dilakukan Hamas tanpa ada hal baru di dalamnya," kata kantor tersebut dalam pernyataannya.
Kantor Netanyahu menegaskan kembali perang di Gaza hanya akan berakhir jika semua sandera dibebaskan, Hamas dilucuti, jalur itu didemiliterisasi, Israel menetapkan kontrol keamanan atas Jalur Gaza, dan pemerintahan sipil alternatif didirikan.
Israel Mulai Operasi Gideon 2
Hal ini terjadi saat Kepala Staf Israel, Eyal Zamir, mengumumkan pada hari Rabu dimulainya fase kedua Operasi Gideon di Jalur Gaza.
Ia menekankan tujuannya adalah untuk mencapai tujuan perang melalui pertempuran yang lebih intensif dan manuver militer yang lebih mendalam.
"Memulihkan tawanan kami adalah misi moral dan nasional," kata Zamir, Rabu (3/9/2025).
Baca juga: 7 Pakar Yakin Israel Kembangkan Program Nuklir, Foto Satelit Mengungkapnya
"Kami akan terus menyerang pusat-pusat pengaruh Hamas hingga mereka dikalahkan," lanjutnya.
Qatar yang menjadi mediator dalam perundingan Hamas dan Israel mengatakan Perdana Menteri Israel Netanyahu menolak tawaran terbaru yang diajukan oleh para mediator untuk menghentikan perang di Jalur Gaza dan melakukan pertukaran tahanan dengan Hamas.
Sementara itu, Hamas menerima tawaran tersebut, menurut pernyataan Qatar.
Israel masih melanjutkan serangannya dalam perang genosidanya di Jalur Gaza sejak Oktober 2023.
Serangan udara Israel menargetkan kawasan tenda pengungsi di Jalur Gaza sejak tengah malam pada hari ini, Kamis (4/9/2025).
Koresponden TV Al-Arabiya, Ahmed Al-Bata, melaporkan bahwa empat warga Palestina tewas ketika pasukan pendudukan mengebom sebuah rumah di lingkungan Al-Sabra, Kota Gaza.
Ia menambahkan bahwa empat warga Palestina, termasuk tiga anak-anak, tewas dalam serangan udara Israel yang menargetkan tenda pengungsi di lingkungan Tal al-Hawa, barat daya Kota Gaza.
Selain itu, sejumlah orang terluka dalam serangan pesawat tak berawak Israel di lingkungan Al-Nasr, sebelah barat Kota Gaza.
Selama 24 jam terakhir, lebih dari 80 warga Palestina tewas termasuk 16 warga pencari bantuan, akibat serangan udara Israel.
Setidaknya, 63.746 warga Palestina telah tewas an 161.245 lainnya terluka dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, kata Kementerian Kesehatan pada hari Rabu, menurut laporan Anadolu Agency.
Israel menyalahkan Hamas dan kelompok perlawanan lainnya atas kehancuran dan kelaparan yang parah di Jalur Gaza.
Hamas dan kelompok perlawanan lainnya meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023, menembus pertahanan Israel di wilayah selatan.
Pada hari itu, mereka menahan sekitar 250 orang dari selatan Israel.
Hamas menyebut Operasi Banjir Al-Aqsa sebagai bentuk perlawanan terhadap pendudukan Israel yang sudah berlangsung sejak 1948, serta sebagai respons atas upaya Israel mengambil alih kompleks Masjid Al-Aqsa.
Israel kemudian menutup total jalur masuk ke Jalur Gaza setelah serangan tersebut, mencegah bantuan apa pun memasuki Gaza sementara Israel meluncurkan serangannya.
Beberapa minggu kemudian, Israel membuaka kembali akses ke Gaza, namun jumlah bantuan yang diizinkan masuk sangat terbatas.
Pada 2 Maret 2025, Israel melakukan blokade total terhadap penyeberangan Kerem Shalom (perbatasan Mesir, Jalur Gaza, Israel), Rafah (perbatasan Jalur Gaza dengan Mesir) dan Erez Crossing (Beit Hanoun di Jalur Gaza utara).
Pemblokiran itu mengakibatkan kelaparan massal yang menewaskan lebih dari 322 jiwa, di antaranya 121 hingga 29 Agustus 2025, menurut Pusat Informasi Palestina.
UNICEF dan WHO menyebut kondisi ini sebagai “human-made mass starvation” akibat blokade dan gangguan bantuan, menurut laporan Reuters.
Di tengah kecaman internasional, pada bulan Mei 2025, Israel dan AS mendirikan Gaza Humanitarian Foundation (GHF) sebagai pihak penyalur bantuan di Jalur Gaza.
Menjelang akhir Juli 2025, Israel membuka kembali jalur ke Gaza setelah mendapat tekanan internasional yang semakin kuat dan munculnya foto serta video yang memperlihatkan kelaparan parah di Jalur Gaza.
GHF memiliki titik distribusi di Tal al-Sultan (Rafah selatan), Saudi Neighborhood (Rafah selatan), Khan Younis (Gaza bagian selatan), dan Wadi Gaza (dekat Kota Gaza, bagian tengah barat).
Pada akhir Juli 2025, Israel membuka kembali jalur bantuan, namun berbagai laporan menyebutkan tentara Israel sering menembak tanpa alasan yang jelas terhadap warga Palestina yang berusaha mengambil bantuan dari GHF.
Pada akhir Agustus 2025, WFP (Program Pangan Dunia) mengatakan Israel mengizinkan lebih dari 300 truk bantuan masuk ke Gaza setiap hari, namun jumlah itu masih jauh dari kebutuhan.
Reuters melaporkan bahwa banyak bantuan untuk tempat tinggal seperti tiang tenda belum diizinkan masuk ke Gaza.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.