Konflik Rusia Vs Ukraina
Putin Beritahu China dan India soal Hasil Pertemuan dengan Trump di Alaska
Presiden Rusia Vladimir Putin memberitahu India dan China soal hasil pertemuannya dengan Presiden AS Trump di Alaska pada 15 Agustus 2025.
TRIBUNNEWS.COM - Presiden Rusia Vladimir Putin berjanji untuk memberi pengarahan kepada para pemimpin Organisasi Kerjasama Shanghai (SCO), termasuk pemimpin China Xi Jinping dan Perdana Menteri India Narendra Modi, tentang hasil pembicaraannya dengan Presiden Amerika Serikat Donald Trump di Alaska pada 15 Agustus lalu.
Pembicaraan tersebut bertujuan untuk menyelesaikan perang Rusia dan Ukraina, namun hasilnya tidak diungkapkan ke publik secara jelas.
Putin mengatakan Rusia menghargai upaya dan usulan dari China, India serta mitra SCO untuk mengakhiri perang tersebut.
Dalam pertemuan puncak SCO di Tianjin, China, Putin berharap pertemuannya dengan Trump bulan lalu dapat membuka jalan untuk perdamaian di Ukraina.
"Saya pasti akan memberi tahu rekan-rekan saya secara lebih rinci tentang hasil negosiasi di Alaska," kata Putin selama pertemuan tersebut, Minggu (31/8/2025).
Putin mengatakan ia telah membahas pembicaraan tersebut dengan Xi Jinping dalam jamuan makan malam para pemimpin.
"Potensi perjanjian damai Ukraina hanya akan bertahan jika akar penyebab "krisis" dihilangkan,” kata Putin, lapor Russia Today.
Ia menambahkan, keseimbangan keamanan yang adil harus dipulihkan.
Putin juga menjelaskan alasan perang tersebut dimulai pada 24 Februari 2022.
"Salah satu alasan utama konflik ini adalah upaya Barat untuk menyeret Ukraina ke NATO, yang merupakan ancaman langsung terhadap keamanan Rusia," jelasnya.
KTT Rusia-AS berlangsung pada 15 Agustus di Anchorage, Alaska, menjadi pertemuan tatap muka pertama antara Putin dan Trump sejak ia dilantik menjadi presiden AS pada awal tahun ini.
Baca juga: Perang Rusia-Ukraina Hari ke-1.286: Zelensky Janjikan Serangan Balasan ke Dalam Wilayah Rusia
Pembicaraan selama tiga jam tersebut tidak menghasilkan gencatan senjata atau kesepakatan damai resmi, namun keduanya menggambarkan pertemuan tersebut sangat produktif.
Setelah perundingan tersebut, Trump mengalihkan fokus dari upaya gencatan senjata segera dalam perang tersebut menjadi upaya mendorong perjanjian damai yang lebih luas.
Ia mengatakan Ukraina tidak dapat berharap untuk bergabung dengan NATO atau merebut kembali Krimea, yang bergabung dengan Rusia setelah referendum publik pada tahun 2014.
Pada tahun 2014, Rusia merebut wilayah Krimea, sebuah semenanjung di selatan Ukraina yang sangat strategis karena memiliki pelabuhan militer utama di Laut Hitam.
Awalnya, terjadi protes besar di Ukraina yang menggulingkan presiden pro-Rusia, Viktor Yanukovych.
Tak lama setelah itu, Rusia mengirim pasukan tanpa tanda pengenal ke Krimea.
Pemerintah baru di Krimea lalu menggelar referendum, di mana mayoritas pemilih disebut mendukung bergabung dengan Rusia.
Namun, referendum itu dianggap ilegal oleh Ukraina dan sebagian besar dunia, karena dilakukan di bawah tekanan militer, dikutip dari TIME.
Ukraina dan Barat menyebut tindakan Rusia sebagai pencaplokan (annexation), sementara Rusia menyebutnya sebagai "penyatuan kembali" dengan wilayah yang secara historis dekat dengannya.
Sejak saat itu, Krimea secara de facto dikuasai Rusia, meskipun secara hukum internasional masih diakui sebagai bagian dari Ukraina.
Sejak kembali ke Gedung Putih, Trump berupaya untuk menengahi perang Rusia-Ukraina yang bertujuan mengakhiri permusuhan tersebut.
Pada Maret 2025, lewat serangkaian pembicaraan di Arab Saudi, Trump berhasil memfasilitasi kesepakatan gencatan senjata selama 30 hari.
Ukraina setuju, namun Kremlin belum memberikan tanggapan pasti.
Trump sempat mengancam Rusia dengan sanksi tambahan jika Putin menghambat perundingan antara Rusia dan Ukraina.
Trump mengungkapkan frustasinya terhadap Putin karena dianggap tidak serius untuk mengakhiri perang di Ukraina.
Di tengah upayanya mendesak Rusia, Trump bertemu dengan Vladimir Putin di Alaska pada 15 Agustus lalu.
Setelah pembicaraan tersebut, Trump mengungkapkan ide untuk menggelar pertemuan trilateral antara Putin, Trump dan Zelensky, namun Rusia belum mengonfirmasi rencana tersebut.
Perang Rusia-Ukraina
Perang Rusia-Ukraina yang meletus pada tahun 2022 berakar dari ketegangan panjang antara kedua negara sejak bubarnya Uni Soviet pada Desember 1991.
Pada tahun 1994, Ukraina menyerahkan senjata nuklirnya ke Rusia lewat Budapest Memorandum, sebagai imbalan jaminan keamanan dari Rusia, AS, dan Inggris.
Namun, terjadi ketegangan politik di dalam negeri Ukraina, yaitu meletusnya Revolusi Oranye pada tahun 2004, di mana Viktor Yanukovych (pro-Rusia) dicurigai menang lewat manipulasi, hingga harus ada pemungutan suara ulang dan Viktor Yushchenko akhirnya terpilih sebagai presiden pro-Barat, lapor Al Jazeera.
Pada tahun 2008, aliansi militer Barat yang dipimpin Amerika Serikat (AS), NATO, mulai memberi sinyal Ukraina bisa bergabung di masa depan.
Dua tahun kemudian, Yanukovych kembali jadi presiden dan menandatangani kesepakatan kiriman gas serta memperpanjang sewa Rusia atas pangkalan angkatan laut di Krimea.
Pada November 2013, Yanukovych membatalkan perjanjian dekat dengan Uni Eropa, menyebabkan protes besar-besaran (Euromaidan), hingga ia digulingkan pada Februari 2014.
Situasi semakin memburuk ketika kelompok separatis pro-Rusia mendeklarasikan republik sendiri di Donetsk dan Luhansk (Donbas) pada April 2014.
Peperangan pun berkecamuk antara pasukan Ukraina dan separatis yang mendapat dukungan Rusia, hingga kedua pihak menandatangani perjanjian Minsk I dan Minsk II pada tahun 2014-2015, namun masih terjadi pelanggaran.
Ketegangan di antara kedua negara tidak mereda hingga pada akhir tahun 2021, Rusia mengerahkan pasukan dalam jumlah besar ke perbatasan Ukraina dan perang kemudian pecah pada 24 Februari 2022.
Presiden Rusia Vladimir Putin berpidato di hari pertama invasi, menyatakan tujuan "operasi militer" Rusia untuk melemahkan kemampuan militer Ukraina yang dianggap mengancam keamanan Rusia.
Putin juga menuduh adanya unsur "neo-Nazi" di pemerintahan Ukraina, serta mengklaim ingin melindungi etnis Rusia di Donetsk dan Luhansk dari penindasan.
Selain itu, Rusia menolak kemungkinan Ukraina bergabung dengan NATO atau menjadi basis pengaruh Barat, karena tidak menginginkan keberadaan militer aliansi tersebut tepat di perbatasan Rusia.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.