Konflik Palestina Vs Israel
Mesir Siagakan 40.000 Tentara, Perbatasan Gaza–Sinai Terancam Jadi Gerbang Eksodus Raksasa
Mesir kerahkan 40.000 pasukan tambahan di sepanjang perbatasan Gaza-Sinai seiring dengan meningkatnya kekhawatiran rencana pendudukan Israel
TRIBUNNEWS.COM – Mesir diam-diam mengerahkan puluhan ribu pasukan tambahan di sepanjang perbatasan Gaza dan Sinai seiring dengan meningkatnya kekhawatiran rencana pendudukan Israel di Jalur Gaza.
Pengerahan ribuan pasukan ini diketahui usai seorang sumber militer senior Mesir mengatakan kepada Middle East Eye bahwa 40.000 tentara kini ditempatkan di Sinai Utara.
Sinai Utara sendiri merupakan salah satu provinsi di Mesir yang terletak di bagian timur Semenanjung Sinai yang sisi timurnya berbatasan langsung dengan Jalur Gaza dan Israel.
Adapun pengerahan puluhan ribu tentara merupakan perintah langsung Presiden Abdel Fattah el-Sisi, setelah pertemuan darurat dengan Dewan Tertinggi Angkatan Bersenjata dan Dewan Keamanan Nasional.
Langkah ini diambil setelah muncul kekhawatiran bahwa operasi militer Israel di Jalur Gaza akan mendorong eksodus atau perpindahan besar-besaran warga Gaza ke wilayah Mesir.
Mesir menilai upaya pemindahan warga Gaza ke Sinai merupakan ancaman serius terhadap kedaulatan negara dan hak rakyat Palestina atas tanahnya.
Oleh karenanya Presiden Abdel Fattah el-Sisi berulang kali menyatakan bahwa eksodus semacam itu tidak akan pernah diterima karena akan menguntungkan Israel dengan cara mengosongkan Gaza dari penduduknya.
Risiko Krisis Kemanusiaan Besar
Baca juga: Militer Israel Klaim Kuasai Pinggiran Gaza, Serangan ke Gaza telah Dimulai
Jika pengungsi masuk ke wilayah Sinai, kemungkinan besar mereka tidak akan pernah bisa kembali lagi ke tanah kelahirannya, seperti yang dialami jutaan warga Palestina pada peristiwa Nakba 1948.
Selain faktor politik, Mesir juga menghadapi masalah keamanan yang genting.
Wilayah Sinai Utara selama bertahun-tahun menjadi arena operasi militan dan kelompok bersenjata yang berafiliasi dengan jaringan ekstremis.
Kehadiran ratusan ribu pengungsi dikhawatirkan memperburuk kondisi tersebut, terutama jika ada infiltrasi dari kelompok militan yang menyusup di antara arus pengungsi.
Krisis ekonomi dan sosial turut menjadi pertimbangan serius. Infrastruktur di Sinai masih terbatas dan tidak siap menampung gelombang pengungsi dalam jumlah besar.
Pemerintah Mesir memperkirakan hal itu akan menimbulkan ketegangan sosial dengan masyarakat lokal serta krisis logistik, kesehatan, dan pekerjaan.
Sementara di tingkat diplomatik, Kairo menegaskan bahwa menerima pengungsi Gaza ke Sinai sama artinya dengan melegitimasi strategi Israel untuk menyingkirkan Palestina dari tanahnya.
Mesir menilai langkah itu akan merusak reputasi negara di dunia Arab dan Islam yang selama ini mendukung perjuangan rakyat Palestina.
Dengan pengerahan pasukan besar di sepanjang perbatasan Rafah, Mesir ingin mengirimkan pesan jelas kepada Israel dan dunia internasional: krisis Gaza harus diselesaikan di tanah Gaza, bukan dengan memindahkan warganya ke Sinai.
Israel Mulai Kuasai Gaza City
Adapun pengerahan pasukan Mesir Militer Israel dilaporkan mulai menguasai sejumlah wilayah penting di Gaza City, menandai eskalasi terbaru dalam perang yang telah berlangsung sejak Oktober 2023.
Langkah ini dipandang sebagai bagian dari strategi Tel Aviv untuk memperluas kontrol penuh atas Jalur Gaza, meski menuai kritik internasional.
Sumber militer Israel menyebut pasukan darat dan unit lapis baja telah bergerak masuk ke pusat kota setelah berminggu-minggu melakukan pengepungan dan serangan udara intensif.
Sejumlah titik strategis, termasuk jaringan terowongan bawah tanah yang diyakini digunakan Hamas, diklaim berhasil direbut.
Namun, di balik klaim itu, situasi di lapangan semakin memicu kekhawatiran. Ratusan ribu warga sipil yang masih bertahan di Gaza City menghadapi kondisi yang sangat memprihatinkan.
Laporan dari lembaga kemanusiaan menyebutkan akses terhadap makanan, obat-obatan, dan air bersih hampir tidak ada.
Di sisi lain, perlawanan dari Hamas disebut masih berlangsung di beberapa kantong pertempuran.
Militer Israel mengakui bahwa operasi di Gaza City menjadi salah satu yang paling melelahkan, baik bagi pasukan reguler maupun tentara cadangan.
Langkah Israel ini menuai kecaman keras dari komunitas internasional. Banyak pihak menilai penguasaan Gaza City akan semakin memperburuk penderitaan warga sipil Palestina, sekaligus menimbulkan risiko eksodus besar-besaran ke wilayah Mesir.
Sejak dimulainya agresi pada 7 Oktober 2023, lebih dari 62.000 warga Palestina dilaporkan tewas, sementara jutaan orang terpaksa mengungsi.
Meski demikian, pemerintah Israel tetap menegaskan operasi militer harus berlanjut hingga “seluruh kekuatan Hamas dihancurkan”, sebuah misi yang dinilai para analis sulit tercapai sepenuhnya.
(Tribunnews.com / Namira)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.