Konflik Palestina Vs Israel
Netanyahu Mengklaim Hamas Tertekan Hadapi Militer Israel
Perdana Menteri Israel Netanyahu mengklaim Hamas tertekan menghadapi militer Israel, menyusul berita Hamas setujui proposal baru gencatan senjata.
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kelompok perlawanan Palestina, Gerakan Perlawanan Islam (Hamas) berada di bawah tekanan dari kemungkinan operasi militer Israel di Jalur Gaza.
Pernyataan Netanyahu muncul dalam komentar pertamanya menyusul laporan Hamas telah menyetujui kesepakatan pertukaran tahanan sebagian.
Netanyahu menganggap perkembangan ini sebagai "pencapaian" bagi kebijakan tekanan militernya di Jalur Gaza.
Perdana menteri itu menambahkan tekanan inilah yang mendorong Hamas untuk kembali ke meja perundingan.
Netanyahu mengunjungi Komando Divisi Gaza pada hari Senin (18/8/2025) dan bertemu dengan perwira senior Pasukan Pertahanan Israel (IDF).
Ia menekankan tiga pesan utama kepada warga Israel yaitu apresiasinya atas pencapaian tentara dalam Perang Atrisi, kekagumannya atas semangat juang para prajurit, dan tekadnya untuk menumpas Hamas dan membebaskan semua tahanan.
Netanyahu memandang pengumuman Hamas mencerminkan perubahan signifikan dalam posisi dan kebijakan gerakan tersebut setelah pengumuman rencana pendudukan Kota Gaza.
Namun, ia menekankan militer Israel akan terus mencapai tujuannya dan membebaskan semua tahanan.
Menurut laporan, kesepakatan potensial tersebut mencakup pembebasan sekitar 140 tahanan Palestina dengan hukuman panjang, bersama dengan ratusan tahanan lainnya, dengan imbalan pembebasan 10 tahanan Israel yang masih hidup dan 18 jenazah.
Kesepakatan itu juga mencakup penarikan sebagian besar pasukan Israel dari Jalur Gaza dan gencatan senjata sementara selama 60 hari.
Netanyahu menekankan tentara Israel akan melanjutkan operasinya untuk mencapai tujuannya di Gaza dan membebaskan semua tahanan.
Baca juga: 7 Negara Kutuk Israel, Kecam Ide Netanyahu Perluas Pemukiman Yahudi di Tepi Barat
Hamas Setujui Proposal Baru
Sumber-sumber informasi Hamas mengatakan kelompoknya telah menerima proposal dari mediator untuk melanjutkan perundingan gencatan senjata.
Proposal tersebut mencakup gencatan senjata selama 60 hari dengan imbalan pembebasan 10 sandera Israel dan masuknya bantuan besar-besaran ke Jalur Gaza.
"Proposal tersebut menetapkan bahwa Israel mengizinkan jalur aman bagi truk bantuan untuk masuk, serta penarikan tentara Israel dari beberapa wilayah yang telah dimasukinya setelah runtuhnya perjanjian gencatan senjata sebelumnya pada 2 Maret," kata sumber tersebut, lapor Anadolu Agency.
Menurut proposal tersebut, Mesir bersama Qatar dan AS akan memberikan jaminan kepada Hamas.
Namun, periode gencatan senjata akan diselingi dengan negosiasi serius dan tekanan AS terhadap Israel untuk mencapai kesepakatan akhir guna menghentikan perang di Jalur Gaza, termasuk pengaturan untuk hari setelah perang.
Mesir dan Qatar Bicara soal Pentingnya Melanjutkan Negosiasi
Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi dan Perdana Menteri sekaligus Menteri Luar Negeri Qatar Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani menekankan pentingnya upaya yang sedang berlangsung, dalam koordinasi dengan Amerika Serikat (AS) untuk mencapai gencatan senjata segera di Jalur Gaza.
Sementara Hamas mengumumkan penerimaannya atas proposal baru dari para mediator.
Kedua pemimpin itu menegaskan penolakan tegas terhadap pendudukan kembali militer di Jalur Gaza atau penggusuran warga Palestina.
Mereka menekankan pembentukan negara Palestina merdeka dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sesuai dengan resolusi legitimasi internasional, merupakan satu-satunya cara untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di kawasan tersebut.
Mesir, Qatar, dan AS sedang memediasi Israel dan Hamas untuk mencapai gencatan senjata di Jalur Gaza, lapor Al Jazeera.
Putaran negosiasi tidak langsung terakhir antara kedua belah pihak, yang diselenggarakan di ibu kota Qatar di bawah naungan para mediator, berlangsung selama berminggu-minggu sebelum berakhir pada 25 Juli tanpa hasil apa pun.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Mesir Badr Abdel Aati mengumumkan pada hari Senin, delegasi Palestina dan Qatar berada di negaranya untuk membahas upaya mengakhiri perang Israel di Jalur Gaza.
Hal itu disampaikan dalam pidato Abdel Aati selama konferensi pers bersama—di sisi Mesir dari perlintasan perbatasan Rafah dengan Gaza—dengan Perdana Menteri Palestina Mohammad Mustafa, yang menghadiri perlintasan itu untuk pertama kalinya.
Abdel-Ati mengatakan, otoritas pendudukan Israel memberlakukan pembatasan pada operasi sisi Palestina dari perlintasan perbatasan Rafah dengan Jalur Gaza.
Ia menekankan Mesir siap membanjiri Gaza dengan semua bantuan yang diperlukan asalkan hambatan Israel disingkirkan.
Israel masih melanjutkan serangannya di Jalur Gaza, memperparah kehancuran dan kelaparan di wilayah tersebut.
Israel menyalahkan Hamas atas kondisi tersebut setelah Hamas meluncurkan Operasi Banjir Al-Aqsa pada 7 Oktober 2023.
Pada hari itu, kelompok perlawanan Palestina membobol pertahanan Israel di selatan dan menahan sekitar 250 orang, hingga per 22 Juni 2025, Israel menyebut masih ada 50 sandera yang ditahan oleh kelompok perlawanan di Jalur Gaza.
Hamas menyatakan operasi itu sebagai perlawanan terhadap pendudukan Israel di tanah Palestina sejak pendirian "Israel" pada Mei 1948 dan upaya pengambilalihan kompleks Masjid Al-Aqsa.
Sementara Israel mengklaim pemblokiran jalur masuk bantuan ke Jalur Gaza sebagai upaya untuk menekan Hamas.
Pemblokiran jalur masuk bantuan tersebut mengakibatkan lebih dari 101 orang tewas karena kelaparan termasuk 80 anak-anak, per 22 Juli 2025.
Pada akhir Juli, Israel mengizinkan lebih banyak bantuan kemanusiaan melalui Gaza Humanitarian Foundation (GHF) untuk menyalurkan kebutuhan pokok ke Jalur Gaza.
GHF yang beroperasi sejak Mei lalu, kini memiliki titik operasional di beberapa lokasi, antara lain Tal al-Sultan (Rafah, Gaza selatan), Saudi Neighborhood (permukiman di Rafah selatan), Khan Younis (tengah-selatan Gaza), dan Wadi Gaza (barat Gaza tengah, dekat Kota Gaza).
Namun, Israel dilaporkan menembaki warga Palestina yang berupaya mendapatkan bantuan dari GHF.
Setidaknya 62.004 warga Palestina telah tewas dalam perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak Oktober 2023, kata Kementerian Kesehatan pada hari Senin.
Selain itu, 60 orang tewas dan 344 orang terluka selama 24 jam terakhir, sehingga jumlah total korban luka menjadi 156.230, menurut laporan Anadolu Agency.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.