Situasi Makin Tegang, Tiongkok Usir Kapal Perang AS di Laut China Selatan
Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memuncak di Laut China Selatan.
TRIBUNNEWS.COM - Ketegangan antara Amerika Serikat dan Tiongkok kembali memuncak di Laut China Selatan.
Pada Rabu, 13 Agustus 2025, militer Tiongkok mengumumkan merekonstruksi dan mengusir kapal perusak AS, USS Higgins, yang mereka tuding memasuki perairan dekat Scarborough Shoal (Huangyan Dao) tanpa izin Pemerintah Tiongkok.
Tindakan ini menjadi salah satu dari serangkaian insiden yang semakin memanaskan hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok di Laut China Selatan.
Hubungan kedua negara di kawasan ini ditandai oleh ketegangan yang sudah berlangsung lama, di mana AS kerap melakukan operasi freedom of navigation (kebebasan navigasi) sebagai tantangan terhadap klaim sepihak Tiongkok atas sebagian besar wilayah Laut China Selatan.
Komando Teater Selatan Tentara Pembebasan Rakyat Tiongkok (PLA) menyatakan bahwa kapal tersebut telah diawasi, diberi peringatan, dan dikeluarkan oleh pasukan yang disiapkan untuk melacak serta menjaga kedaulatan kawasan.
Tindakan ini dideskripsikan sebagai pelanggaran serius terhadap keamanan dan kedaulatan Tiongkok, serta dianggap merusak stabilitas regional.
“Tindakan AS tersebut secara serius melanggar kedaulatan dan keamanan Tiongkok, serta sangat merusak perdamaian dan stabilitas di Laut China Selatan,” jelas komando Teater Selatan militer Tiongkok, dikutip dari Channel News Asia.
Namun dari sudut pandang Amerika Serikat, USS Higgins menjalankan misi freedom of navigation sesuai hukum internasional, menegaskan hak perjalanan di perairan internasional.
Armada Ketujuh AS menyebut bahwa mereka "menegaskan hak dan kebebasan navigasi" serta tidak akan terkendala jika China memang menyatakan sebaliknya.
"Pernyataan Tiongkok tentang misi ini tidak benar," ujar juru bicara Armada Ketujuh AS, Letnan Sarah Merrill, dalam balasan email atas pertanyaan Bloomberg.
"Apa pun yang dikatakan Tiongkok tidak akan menghalangi kami," tambahnya, dikutip dari The Sydney Morning Herald.
Baca juga: Tiongkok akan Terus Kuatkan Hegemoni di Laut China Selatan untuk Amankan Kepentingan Ekonomi
Klaim Wilayah
China mengklaim hampir seluruh wilayah Laut China Selatan, berdasarkan peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line), yang mencakup wilayah yang juga diklaim oleh Brunei, Indonesia, Malaysia, Filipina, Taiwan, dan Vietnam.
Klaim ini sering kali menjadi sumber konflik diplomatik dan militer, terutama karena kawasan ini sangat strategis.
AS secara rutin melakukan operasi “kebebasan navigasi” di wilayah ini, menantang apa yang mereka sebut sebagai “pembatasan lintas damai” yang diberlakukan oleh Tiongkok dan penggugat lainnya.
Tujuannya adalah untuk menegaskan bahwa jalur tersebut merupakan bagian dari laut internasional, di mana kapal dan pesawat memiliki kebebasan untuk beroperasi.
Salah satu titik konflik utama adalah Beting Scarborough, kawasan kaya sumber daya yang menjadi jalur lalu lintas perdagangan laut senilai lebih dari 3 triliun USD setiap tahunnya.
Dalam pekan yang sama dengan insiden USS Higgins, kapal-kapal Tiongkok juga terlibat dalam manuver yang menyebabkan tabrakan di kawasan tersebut, menurut pernyataan dari pihak Filipina, insiden tabrakan pertama yang tercatat di daerah itu.
Penjaga pantai China mengatakan telah mengambil "tindakan yang diperlukan" untuk mengusir kapal-kapal Filipina dari perairan tersebut, yang mereka klaim sebagai wilayah mereka.
Namun demikian, pada tahun 2016, pengadilan arbitrase internasional yang dibentuk berdasarkan UNCLOS memutuskan bahwa klaim historis China tidak memiliki dasar hukum internasional.
Meskipun begitu, China secara tegas menolak mengakui putusan tersebut dan terus memperluas pengaruhnya di wilayah tersebut.
Kronologi Ketegangan AS–China di Laut China Selatan
Ketegangan antara Amerika Serikat dan China di Laut China Selatan bukanlah sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba.
Perseteruan ini berkembang secara bertahap selama lebih dari dua dekade, dimulai dari peringatan diplomatik hingga berujung pada kehadiran militer yang intensif dan manuver yang semakin berbahaya.
Segalanya bermula pada pertengahan 1990-an, ketika Tiongkok mulai menunjukkan ambisinya untuk memperkuat klaim teritorialnya di Laut China Selatan.
Klaim ini mencakup hampir seluruh kawasan, berdasarkan peta sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang tidak diakui secara internasional.
Meskipun Amerika Serikat menyatakan netral dalam sengketa wilayah tersebut, Washington sejak awal menekankan pentingnya kebebasan navigasi di perairan internasional.
Memasuki tahun 2010, posisi AS mulai berubah menjadi lebih aktif. Menteri Luar Negeri AS saat itu, Hillary Clinton, secara terbuka menyatakan bahwa Laut China Selatan merupakan "kepentingan nasional" Amerika Serikat.
Pernyataan ini menandai awal keterlibatan langsung AS dalam dinamika kawasan, terutama dengan mendorong penyelesaian sengketa melalui jalur hukum dan menghormati hukum laut internasional.
Sejak saat itu, AS semakin rutin melakukan operasi kebebasan navigasi (FONOPs), yaitu patroli militer yang dilakukan di wilayah-wilayah laut yang diklaim secara sepihak oleh Tiongkok.
Tujuan dari operasi ini adalah untuk menunjukkan bahwa laut tersebut adalah milik internasional dan tidak boleh dikuasai secara eksklusif.
Namun, Tiongkok tak tinggal diam.
Negara tersebut mulai membangun pulau-pulau buatan di kawasan Kepulauan Spratly dan Paracel, yang dilengkapi dengan landasan udara, pelabuhan militer, serta sistem radar dan rudal.
Langkah ini mengundang kekhawatiran tidak hanya dari AS, tetapi juga dari negara-negara ASEAN yang turut mengklaim sebagian wilayah tersebut.
Puncak ketegangan terjadi pada tahun 2016, ketika pengadilan arbitrase internasional di Den Haag, berdasarkan gugatan dari Filipina memutuskan bahwa klaim Tiongkok atas wilayah tersebut tidak memiliki dasar hukum.
Namun, Tiongkok menolak mengakui putusan tersebut dan terus melanjutkan pembangunan serta patroli militer di kawasan.
Tahun-tahun berikutnya dipenuhi oleh insiden berbahaya. Pada 2018, sebuah kapal perang Tiongkok nyaris bertabrakan dengan kapal perusak AS yang tengah berpatroli.
Sementara pada 2024, insiden baru kembali memanas di Second Thomas Shoal, ketika kapal-kapal Tiongkok dilaporkan melakukan manuver berbahaya terhadap kapal Filipina dalam misi pasokan, yang kemudian memicu kecaman dari Filipina dan dukungan kuat dari AS.
Ketegangan kembali memuncak pada Agustus 2025, ketika Tiongkok mengklaim telah mengusir kapal perang AS USS Higgins yang beroperasi di dekat Scarborough Shoal.
Wilayah ini menjadi titik panas utama, dan insiden ini tercatat sebagai operasi militer AS pertama di area tersebut dalam enam tahun terakhir.
Sehari sebelumnya, kapal-kapal Tiongkok juga diduga menyebabkan tabrakan saat mengusir kapal Filipina, memperkeruh situasi.
(Tribunnews.com/Farra)
Artikel Lain Terkait Laut China Selatan
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.