Konflik Iran Vs Israel
Apakah Iran Benar-benar Punya Program Senjata Nuklir? Donald Trump dan Intelijen Amerika Beda Klaim
Apakah Iran benar-benar memiliki program pengembangan senjata nuklir hingga Israel melakukan serangan demi menghancurkannya?
TRIBUNNEWS.COM - Apakah Iran benar-benar memiliki program pengembangan senjata nuklir hingga Israel melakukan serangan demi menghancurkannya?
Rupanya, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan badan mata-mata AS (U.S. Intelligence Community (IC)) memiliki klaim berbeda.
Pekan ini, Donald Trump mengatakan kepada Kongres bahwa, situs-situs Iran yang dibom oleh AS menampung "program pengembangan senjata nuklir."
Akan tetapi, badan mata-mata AS justru mengatakan, tidak ada program semacam itu.
Klaim Donald Trump pun menimbulkan pertanyaan apakah badan intelijen AS mendukung keputusannya untuk memerintahkan serangan Operation Midnight Hammer terhadap Iran pada Minggu (22/6/2025) lalu.
Dikutip dari Reuters, Donald Trump telah membuat pernyataan soal serangan ke Iran dalam surat yang tertanggal Senin (23/6/2025) kepada Ketua DPR AS Mike Johnson dan sekutu-sekutu utama AS.
Surat tersebut, juga diunggah di situs web resmi White House (Gedung Putih).
"Pasukan Amerika Serikat melakukan serangan presisi terhadap tiga fasilitas nuklir di Iran yang digunakan oleh Pemerintah Republik Islam Iran untuk program pengembangan senjata nuklirnya," tulis Donald Trump.
Akan tetapi, laporan terbaru dari Direktur Intelijen Nasional AS Tulsi Gabbard menyebut, Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, tidak memerintahkan dimulainya kembali upaya senjata nuklir yang ditutup pada tahun 2003.
Laporan tersebut sudah disampaikan ke Kongres AS pada Maret 2025 lalu.
Menurut sebuah sumber yang memiliki akses ke laporan intelijen AS, penilaian pada Maret tersebut tidak berubah.
Baca juga: Israel Dilaporkan Sudah Ketahui Lokasi Sisa Stok Uranium Iran, Tapi Pilih Hindari Bencana Radiasi
Iran bersikeras bahwa program nuklirnya ditujukan untuk tujuan damai.
Sebelumnya, Mantan Presiden AS George Bush memberi pembenaran terhadap invasi Irak pada 2003 dengan mengatakan bahwa intelijen menunjukkan, negara tersebut memiliki senjata pemusnah massal.
Namun, hal tersebut selanjutnya tak dipercaya publik dan justru memicu reaksi politik.
Pada pekan lalu, Donald Trump untuk pertama kalinya meragukan intelijen AS tentang program nuklir Iran.
Saat itu, ia menolak penilaian yang disampaikan Tulsi Gabbard kepada Kongres.
"Saya tidak peduli apa yang dikatakannya. Menurut saya, mereka [Iran] hampir memilikinya [program senjata nuklir]," kata Donald Trump kepada wartawan.
Tulsi Gabbard sendiri sudah membantah laporan media tentang kesaksiannya pada Maret 2025 lalu itu.
Lewat media sosial X (dulu Twitter), Tulsi menyebut bahwa intelijen AS menunjukkan Iran dapat membuat senjata nuklir "dalam hitungan minggu hingga bulan" jika Iran mau.
Menurut laporan intelijen AS yang tidak dirahasiakan dan disusun sebelum serangan, Iran menutup program senjata nuklir pada 2003.
Hal tersebut merupakan kesimpulan yang dianut oleh pengawas nuklir PBB - dan belum menguasai semua teknologi yang dibutuhkan.
Namun, Teheran diklaim masih memiliki keahlian untuk membangun hulu ledak pada suatu saat, menurut laporan tersebut.
Penilaian awal Badan Intelijen Pertahanan Amerika Serikat (AS) (Defense Intelligence Agency/DIA) menunjukkan, serangan AS terhadap fasilitas nuklir Iran pada Minggu (22/6/2025) lalu hanya memperlambat program nuklir Iran dalam hitungan bulan.
AS disebut telah menyerang tiga lokasi nuklir Iran, yakni di Natanz, Isfahan, dan Fordow.
Serangan itu diklaim telah mengenai Fordow yang terkubur dalam, di mana sentrifus canggih dapat menghasilkan uranium yang diperkaya (enriched uranium) rendah untuk bahan bakar reaktor nuklir dan uranium yang diperkaya tinggi untuk hulu ledak.
AS menyerangnya dengan bom "penghancur bunker".
Donald Trump dan pejabat tinggi lainnya mengatakan situs-situs nuklir Iran itu telah hancur.
Namun, penilaian awal intelijen AS telah bocor dan menyebut bahwa serangan itu hanya memperlambat program nuklir Teheran selama beberapa bulan.
Menurut seorang pejabat AS, penilaian awal DIA tersebut juga berisi sejumlah peringatan dan laporan yang lebih rinci diharapkan akan keluar dalam beberapa hari dan minggu mendatang.
(Tribunnews.com/Rizki A.)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.